Lihat ke Halaman Asli

Puasa Kita dan Orang-orang Pinggiran

Diperbarui: 14 Juni 2016   12:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

salah satu yang sering kita dengar tentang hikmah puasa adalah ikut merasakan penderitaan saudara saudara kita yang susah, miskin, melarat, tak berpunya, yang terusir, korban perang, dan yang terpinggirkan. itu adalah hikmah ideal yang sering disuarkan oleh para pengkhutbah, buku buku agama dan guru guru sekolah saya. tak salah memang, sungguh mulia tujuan berpuasa itu. apa bila tujuan mulia itu bisa menemui kenyataan mungkin saja yang terjadi sehabis puasa sebulan suntuk itu, seluruh muslim di dunia akan berubah menjadi manusia manusia peka, toleran, penuh kasih dan tentu saja tak pemboros. mungkin kemiskinan akan musnah dari dunia ini. jumlah penganggur akan hilang dan rumah rumah zakat akan kebingungan menyalurkan harta bendanya. 

apakah bisa begitu? apakah ideal itu akan mungkin jadi nyata? 

rasanya jauh panggang dari api. ideal ideal itu mungkin hanya eksis di alam mimpi. saya sendiri merasakannya bahwa puasa saya lebih condong pada kewajiban saya sebagai muslim alias semata mata tuntutan agama. miris kan? ya begitulah kenyataannya. ada kalanya saya pun berduka atas kondisi keimanan saya yang selfis begitu rupa. saya sering juga bertanya apakah keadaan saya ini juga dialami oleh muslim lainnya? rasanya begitu. 

paling mudah melihat kenyataan bahwa puasa itu tak lagi mengarah pada rasa simpati pada yang tak berpunya adalah di saat berbuka dan sahur. tengoklah lauk pauk apa saja yang terhidang di meja makan? apakah ada rendang, gulai kakap, semur daging, tongkol bumbu pedas, ditambah kurma, es klamud, es kolak, es kream, dll. dari hidangan ini kita tahu bahwa tak ada itu rasa empati apalagi upaya menahan nafsu. 

puasa justru menjadi perayaan nafsu?

mungkin saja begitu. puasa semestinya tidak melulu berarti menahan lapar, menahan nafsu di saat siang. tetapi berlanjut saat kita berhadapan dengan waktu berbuka dan sahur. yang terjadi kan justru tidak begitu. siang menahan nafsu, waktu berbuka tiba melepas nafsu sejadi jadinya. lalu dimana tempat bagi simpati terhadap orang susah? 

begitu puasa dimulai angan angan dan rencana makanan berbuka, es es yang nikmat, rencana bukber, dan tentu saja baju lebaran  muncul di kepala. lihat kan, dari awal yang kita pikirkan adalah kesenangan jasmani, kebendaan. kita memahami puasa begitu dangkal, jauh dari kedalaman. yang permukaan penting, tetapi esensinya pun jangan ditinggal. hikmah hikmah puasa yang berdimensi kepedulian sosial harus kita hayati, jalankan, dan bagikan kepada sesama.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline