Jakarta Lawyer Club(JLC) nama program acara di stasiun tv swasta itu. Isinya membahas pelbagai isu yang lagi marak-maraknya di media massa; media cetak maupun media elektronik. Kemarin, acara itu membahas bagaimana kebenaran isu wikileaks yang telah mencemarkan nama baik presiden SBY khususnya dan pejabat negara lainnya. Acara yang dipandu oleh jurnalis senior Karni Ilyas itu mengundang para tamu yang bukan orang-orang sembarangan. Ada dari kalangan praktisi hukum, akademisi, politisi, pengusaha dan lain sebagainya. Dan kemarin, seorang budayawan pun turut meriuhi suasana acara yang nampak elegan dan formil. Tak tanggung-tanggung, yang diundang pun budayawan yang kerapkali 'nyeleneh' menurut anggapan umum. Sudjiwo Tejo. Dalam jejaring sosial twitter, ia menggunakan nama akunnya dengan sebutan Ki Asu Jiwo Tejo.
Berbagai sudut pandang dikemukakan oleh para tamu dari kalangan yang mapan intelektualnya. Perbincangan itu dibuka oleh Tjipta Lesmana, pakar komunikasi politik , yang selalu mendedahkan isu dengan nada sedikit 'provokatif.' Kemudian kawannya yang juga pakar komunikasi politik Effendi Ghazali membahasnya dengan lebih 'segar' lagi. Kedua pakar komunikasi politik itu memang kerap kali nongol di stasiun TV negeri ini. Mereka mendedahkan bahwa Wikileaks sudah keterlaluan dalam mencampuri urusan suatu negara.
Lain lagi dengan Gayus Lumbuun anggota DPR dari Fraksi PDIPerjuangan yang lebih kalem. Pak Gayus menjernihkan melalui adanya etika dalam dunia jurnalistik. Setelah dari pak Gayus, berlanjut ke anggota DPR dari Fraksi Golkar yang juga seorang pengamat politik dulunya, Indra Jaya Piliang. Indra mengatakan garis besarnya bahwa nama SBY yang bersinar di mancanegara itu membuktikan bahwa nama SBY mulai memudar. Karena hanya garis besarnya saja, sebagai jurnalis senior Karni Ilyas memantik bagaimana dampaknya secara politik. Indra Jaya Piliang akhirnya mengatakan Pak SBY yang selama ini 'baik-baik saja' di kalangan intern dan ekstern negeri ini membuktikan bahwa rezimnya rapuh.
Kemudian lanjut kepada Yusril Ihza Mahendra, mantan Menkumham yang menceritakan pengalamannya dan merasa telah 'dizolimi' oleh rezim SBY meski dia juga merupakan bagian dari rezim itu sendiri. 'Curhatnya" itu hanya membuka kemungkinan baru yang berbeda lagi. Tak ada yang baru. Bisa benar, bisa tidak Wikileaks itu, katanya.
Hingga tibalah giliran Sujiwo Tejo. Ya, budayawan sekaligus seniman eksentrik dan nyeleneh ini membeberkan bahwa persoalan negeri ini yang akut adalah tak adanya pemimpin yang jantan di negeri ini. Presiden hanya seorang yang peragu dan lembek. Hanya gencar mengungkapkan rasa prihatin pada berbagai peristiwa yang hadir dan nyata-nyata terjadi di tengah-tengah masyarakat negeri ini. Suasana acara itu menjadi riuh rendah. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, Ki JiwoTejo tetep merujuk pada perspektif kebudayaan yang memang dikuasainya. Budaya Jawa, khususnya. Negeri ini sedang menghadapi angkara murka dari para dewata, sebab itu diperlukan tokoh 'urakan' untuk membebaskan negeri ini. Yang benar-benar 'asing' dari segala keadaan yang menyelimuti situasi dan kondisi negeri itu, katanya. Karena pemikiran Ki Jiwo Tejo dan jeda iklan mau lewat, Karni lyas pun tak bisa lagi menanggapinya. Iklan pun dipersilakan. Lamat-lamat tepuk tangan riuh rendah disertai gelak tawa menyemaraki suasana.
Suasana baru muncul kembali. Kini, Christianto Wibisono yang memang sudah malang melintang di mancanegara mengatakan alangkah tertinggalnya jika hanya berpikir untuk domestik saja. Sekarang ini segalanya sudah mengglobal. Mondial. Maka, jangan berharap menjadi presiden di negeri ini jika tak ada kesepakatan dari dunia sekelilingnya. Ia merujuk pada AS, Rusia, Tokyo, Singapura, China, dan lainnya.
Benyamin Mangkoedilaga yang seakan-akan bertindak sebagai hakim judge bao itu pun merangkum kesemuanya dengan penuh kebijaksanaan. Begitulah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H