Lihat ke Halaman Asli

Doaku untuk Kalian, Ayah Ibu..

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam dinding kamar ku menunjukkan pukul 06:05 WIBB. Sebenarnya hari ini aku masih ngantuk, tapi aku dibangunkan oleh ibuku dengan caranya yang membuat aku harus bangun. Ya, ibu punya cara yang ampuh bila mataku masih tertutup. Aku menyebutnya itu dengan serangan meteor pagi hari. Di awali dengan serbuan kecupan di muka, kemudian ciprat-ciprat air yang dingin bila menyentuh kulitku.

Aku jalan menuju ruang keluarga yang ukurannya tidak lebih besar ataupun lebih kecil dari kamarku. Ini memang bukan rumah milik ayah dan ibuku, tapi ini adalah rumah kontrakan. Di ruangan keluarga ku temui ayah yang sedang asik memegang remote sambil serius memandangi layar ukuran 24 inc itu.

“Assalammualaikum...” sapa ayahku.

Aku hanya membalas salamnya dengan menunjukkan barisan gigi-gigiku.

“Hayoooo bangun jam segini udah sholat Subuh belum?” lanjut ayah sambil menyodorkan air minum di gelas milikku.

“Udah..” aku jawab sekenanya, dan ayah menunjukkan ekspresi bingungnya.

Aku merebahkan tubuhku di kasur yang berada persis di depan tv setelah aku teguk minuman yang di suguhkan ayah dan ku kembalikan kepadanya untuk minta tolong di simpan kembali. Jika aku tunjukkan tangan ke tv, ayah pasti sudah mengerti dan langsung memindahkan chanel tv ke acara kesukaanku.

“Usmaaan airnya udah siap, mandi yuuk” Ajak ibu padaku.

Aduh sebenarnya kalau mandi sekarang masih dingin dan malas rasanya. Maka aku hanya menatap ibu sambil memeluk guling kesayangannku.

“Eeeh malah meluk guling, ayo mandi” Buru ibu.

Setelah kulepas bajuku aku berjalan menuju kamar mandi dengan menggandeng tangan ibu. Kulihat handuk warna putih milikku itu di selandangkan di pundak ibu.

Hal ini jadi rutinitas yang mengisi pagi hariku. Ya, usiaku memang belum genap 2 tahun. Aku terlahir dari pasangan pekerja, ayah dan ibuku adalah para pekerja. Setiap pagi setelah mandi dan sarapan biasanya aku di tinggal dengan pengasuhku di rumah. Ayah dan Ibu hanya berpesan agar aku jadi anak yang baik dan sholeh setiap akan berangkat ke kantor mereka.

Namun pagi itu ada perbedaan, setelah aku mandi biasanya pengasuhku sudah siap dengan sarapanku di tangannya dan gendongan di pundaknya. Pagi itu beda sekali, karena sarapan baru datang setelah ayah selesai memakaikan aku baju dan menyisir rambutku. Dan yang membawa sarapanku itu Ibu.

“hmm kenapa yang membawa sarapanku itu ibu?” tanyaku dalam hati.

“Ayo sayang sarapan dulu yah,kali ini ibu yang suapin ya soalnya si mba lagi cuti” begitulah bujuk ibu yang sekaligus memberikanku penjelasan.

Oh jadi mba cuti, pantesan dari tadi aku nggak lihat dia hilir mudik. Sendok demi sendok ibu suapkan ke mulutku. Pagi itu aku hanya bisa melahap setengah porsi dari porsi yang ibu siapkan untukku. Ibuku harus segera siap-siap mengganti bajunya dengan seragam kerja dan ayah sudah mulai rapih dengan kemeja tangan panjangnya.

“Usman hari ini, kamu main di rumah Bu Hanifah yah..kamu jangan nakal nanti sore ayah yang akan jemput” begitu jelas ibu padaku.

Hmm siapa bu Hanifah, aku rasa belum mengenalnya. Namun kata ibu, dulu waktu pengasuhku sakit juga aku di titip di rumah bu Hanifah dan saat itu usiaku katanya masih sekitar 8 bulanan.

Jam dinding menunjukkan pukul 06:45, saat itu aku lihat ibu telah menyiapkan tas yang berisi baju-baju gantiku dan beberapa popok serta beberapa kotak makananku. Aku di gendong ibuku, tas beserta perlengkapan keperluanku di bawa ayahku. Kami berjalan menuju rumah ibu Hanifah yang di ceritakan ibu tadi. Rumahnya jauh kalau menurut ukuranku, tapi ntah lah menurut ukuran ayah dan ibuku.

Sampailah kami di rumah bercat hijau yang ukurannya hampir sama dengan ukuran rumah kontrakanku. Setelah di persilahkan masuk oleh yang punya rumah kami masuk dan duduk di alas yang terbuat dari karet berwarna merah jambu. Saat itu aku duduk di pangkuan ibuku yang sedang entah membicarakan apa dengan pemilik rumah yang akhirnya aku tahu bahwa itulah bu Hanifah. Sosok seorang ibu berusia sekitar 45 tahunanan menurut perkiraanku, mempunyai dua anak yang sudah besar dan keduanya perempuan.

“Usman, hari ini mainnya di sini ya sama ibu Hanifah, ayah sama ibu berangkat dulu” Begitulah kata-kata ibu mengagetkanku.

Saat itu aku berusaha untuk tetap memeluk ibu, dan agak merengek.

“Udah nggak apa-apa tinggal aja, nanti kalian kesiangan” Buru bu Hanifah pada Ayah Ibuku.

Tangan bu Hanifah berusaha meraihku, dan aku menolaknya dengan tetap memeluk ibuku dengan teriakanku dan mulai mencucurkan air mata.

“Ibuuu aku nggak mau di sini sama orang asing, aku mau ikut ibu aja ke kantor” teriakku dalam tangisku.

Tapi ibu berusaha mengalihkan perhatianku dengan mainan-mainanku yang di letakkan di meja kecil dekat tv. Saat perhatianku teralihkan, saat itulah ayah dan ibuku meninggalkanku. Aku sempat melihat mereka pergi dan kembali berusaha menangis, namun nampaknya Ayah dan Ibuku lebih memilih berlalu dan meninggalkanku.

Ya sudahlah, aku akan berusaha menjadi apa yang Ayah dan Ibuku do’akan yaitu menjadi anak yang soleh. Aku relakan mereka bekerja, jika hasilnya memang untuk masa depan aku. Aku berdo’a pada Alloh semoga, Ayah dan Ibuku selalu di dalam lindunganNya dan mendapatkan rizki yang halal karena aku yakin mereka lakukan ini semata-mata karena Alloh SWT.

“Ayah....Ibu...aku ikhlas, aku doakan kalian semoga selalu ada dalam lindungan Alloh SWT dan mendapatkan apa yang kalian cari untuk aku dan keluarga kelak”...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline