Lihat ke Halaman Asli

Wandi Wahyudi

Mahasiswa FISIP Administrasi Negara Unfari Bandung

Merasakan Pikir Memikirkan Rasa

Diperbarui: 12 Juli 2023   20:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Persoalan paling mendasar saat ini adalah bagaimana kita dapat menjalani kehidupan dengan bijak. Kualitas kita ditentukan oleh kebijaksanaan dalam menyikapi kehidupan yang beragam persoalannya, persoalan yang sering kita jumpai dihampir setiap lini kehidupan. Tentu bukanlah perkara mudah, namun tidak artinya kita harus tunduk dan menyerah. Sesulit apapun akan dapat kita perjuangkan, selama asa masih kuat digenggaman.

Tidak akan pernah ada ujian bila kita tak memilih untuk hidup di dunia, dan dunia tidak pernah meminta kita untuk tinggal. Ini adalah konsekuensi dasar yang harus kita pahami. Tentang pertanyaan mengapa kita dilahirkan ke dunia, dan hidup di dalamnya dengan berbagai macam persoalan adalah sebuah kenisbian paling besar. Sebab artinya kita telah mengingkari keputusan sendiri. Maksudnya, nasib kita saat ini berasal dari keputusan besar kita di masa lalu. Sehingga apapun yang terjadi, manis pun pahit, tidak bisa tidak, kita harus menjalaninya.

Hentikan pertanyaan bodoh ini : Tuhan, mengapa aku harus dilahirkan dan hidup di dunia ini ?

Sekarang adalah saatnya kita bekerja, menunaikan kewajiban kita sebagai manusia seutuhnya. Apa yang harus kita kerjakan ? dan apa kewajiban kita ? Setidaknya pertanyaan ini lebih berbobot. Yah, pekerjaan kita sejatinya adalah berbuat kebajikan, dan kewajiban kita adalah menghamba kepada -- Nya. Sehingga apapun yang kita kerjakan semata -- mata hanya menjalankan kewajiban kita sebagai seorang hamba. Jika tidak demikian, maka kita akan terombang -- ambing di kehidupan ini.

Variabel kehidupan ini sangat banyak, dan diantara variabel -- variabel itu kita hidup. Tetapi variabel yang paling inti adalah "Diri," dan manusia adalah pemimpin bagi dirinya. Kita harus mampu memimpin diri kita sendiri sebelum memimpin yang lain seperti keluarga, organisasi, bahkan negara. Jika tidak, maka kesemberawutan akan terjadi, dan itulah mengapa kerusakan serta kehancuran berserakan dimana -- mana.

Berapa banyak pemimpin yang terperangkap dalam lubang kejahatan karena ulahnya sendiri. Apapun itu, semuanya terjadi lantaran dirinya belum benar -- benar merdeka, alias masih terjajah. Dari keterjajahan itulah mental penjajahnya muncul, dan orang -- orang dengan mental penjajah tidak layak menjadi seorang figur atau pemimpin. Mereka lebih baik dipasung di bawab pohon alpukat, biarkan ulat -- ulat menjilati dosa -- dosanya.

Manusia itu seperti permata, hanya saja permata itu terlapisi lagi oleh hal lain. Salah satu lapisan paling tebal adalah lapisan "Keduniawian." Segala sesuatu yang orientasinya adalah dunia, materil ; harta, tahta, wanita, dan hal sejenis lainnya adalah lapisan -- lapisan yang menutupi keaslian permata.

Untuk menjadikannya asli kembali, tidak ada upaya lain selain menggosoknya. Seperti metafor Seneca di atas, bahwa ujian hidup adalah selayaknya gesekan untuk memoles permata agar menjadi asli kembali ; menjadikan manusia kembali pada hakikatnya.

Dari sebelumnya kita tak sadar, sampai kemudian sadar bahwa kehidupan telah "menghijab" diri kita, maka kita telah menemukan tugas sesungguhnya. Sebelum hijab itu tersingkap, selamanya kemerdekaan diri "Self Freedom" hanyalah angan belaka (utopis).

Dua unsur yang paling fundamental dalam diri kita, yaitu pikiran dan perasaan. Keduanya merupakan aktor utama yang mempengaruhi tindakan. Sehingga bila keduanya tidak sehat, maka tindakan kitapun sakit. Pikiran dan perasaan harus dipergunakan sebaik mungkin, keduanya saling mempengaruhi, tidak boleh hanya satu yang mendominasi. Jika pikiran mendominasi ; berapa banyak orang beraksi dengan kesombongannya, dan jika hanya perasaan yang mendominasi ; Banyak orang berselisih sampai saling membunuh lantaran emosi berlebihan mendiami perasaannya. Keduanya adalah satu kesatuan dari manusia, dan kerjasama diantaranya adalah keharusan.

"Merasakan pikir, memikirkan rasa." Kata -- kata ini pertama kali kudengar dari tema Musyawarah Besar "MUBES" Mata Alam Universitas Al -- Ghifari Bandung, pada September 2020. Kata -- kata itu dapat dijadikan alat atau senjata. Sebuah senjata yang akan terus kita genggam selama hidup, sebab banyak musuh silih berdatangan dan mengintai di setiap sudut kehidupan. Musuh kita bukan manusia, tetapi segala sesuatu yang dapat merusak keaslian kita. Dan musuh kita tak pernah mati selama kita hidup, ia ada dimana -- mana, di dalam dan di luar diri kita.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline