Oleh : Pradipto Niwandhono
Tulisan tentang Islam dan Islamisme sudah banyak ditulis. Sebagian besar dengan nada polemis, dan pasti mengudang polemik juga. Ini karena para penganutnya sendiri rata-rata menolak peristilahan ini. Dalam keyakinan mereka, apa-apa yang termuat dalam konsep 'Islamisme' atau 'Islam politik' itu merupakan satu kesatuan dan satu paket dengan ajaran Islam yang sifatnya universal dan holistik. Jadi konsep itu adalah produk sekularis yang sifatnya destruktif, untuk 'mempreteli' kesatuan agama Islam itu sendiri. Kira-kira sama dengan argumen dari golongan yang menyatakan bahwa anti-Zionisme pasti dimotivasi oleh anti-Semit, yaitu anti etnis Yahudi sekaligus tradisi agamanya (Judaisme). Bagi kaum Yahudi dan Kristen yang mendukung Zionisme tentunya menganggap bahwa dasar doktriner Zionis, yaitu perjanjian sakral antara Tuhan (Yahweh) dengan bangsa Ibrani mengenai tanah suci itu satu paket dari tradisi religius Yahudi
Kali ini saya ingin memaparkan sejumlah argumen yang biasa digunakan sebagai penolakan terhadap Islamisme. Meski demikian harap dipahami bahwa sikap anti terhadap ideologi tertentu harus dipisahkan secara tegas dengan prasangka terhadap pendukungnya. Anti Islamisme tidak harus selalu berujung pada Islamophobia. Toh, pada dasarnya tidak ada hubungan logis antara ideologi atau keyakinan dengan baik-buruknya karakter seseorang. Ada kalanya suatu gagasan yang tampak totalitarian dianut oleh seorang yang sesungguhnya memegang teguh prinsip kejujuran dan loyalitas. Di sisi lain tak tertutup kemungkinan ada seseorang yang secara ideologi tampaknya moderat dan terbuka, tetapi ia memiliki ambisi besar sehingga langkah apapun akan dilakukan untuk mencapainya sekalipun ia harus 'bermuka dua', dan sebagainya. Adanya perbedaan antara 'realpolitik' dan garis-garis batas aliran ideologi membuat kita harus kritis dan jernih melihat persoalan semacam ini.
Politisasi Islam dan Islamisasi politik
Ini merupakan karakteristik dasar yang membedakan Islamisme dan Islam sebagai keyakinan pada umumnya, meski tidak diakui oleh penganutnya. Aspek yang paling bermasalah dari Islam politik tentu saja adalah idealisme untuk membentuk tatanan peradaban dan kenegaraan berdasarkan prinsip Islam. Hal ini tentunya berlawanan dengan aspirasi nasionalis akan negara nasional yang bersifat inklusif dan pluralis, tanpa pembedaaan atau pengistimewaan apapun atas dasar afiliasi religius dan etnisitas. Meski cenderung bertentangan, akan tetapi pada dasarnya orang Indonesia termasuk kaum yang paling nasionalis sekalipun sulit dan dilematis untuk menjalankan politik anti-Islamis secara total karena sejumlah faktor :
Pertama, meski berkembang sebagai gerakan trans-nasional, Islamisme merupakan 'kontributor' yang tidak dapat diabaikan dari ideologi anti-kolonial. Ia dianggap sebagai sumber nasionalisme Dunia Ketiga anti-kolonial disamping sosialisme ataupun Marxisme. Dalam hal ini faktor pendukung perkembangan Islamisme adalah keberadaan masyarakat-masyarakat berorientasi maritim dan komersial di pesisir. Komunitas-komunitas ini bukan saja disatukan oleh faktor religius (Islam), kebudayaan dan bahasa Melayu sebagai 'lingua franca', tetapi juga adanya persamaan kepentingan dalam menghadapi rival bersama : komunitas Cina dan kolonialis Eropa. Kenyataan bahwa Islam(isme) dan pendukungnya memiliki peran tersendiri dalam membentuk solidaritas lintas etnis dan memiliki tradisi anti-kolonial yang panjang adalah hal yang sulit diabaikan oleh kaum nasionalis.
Kedua, pada dasarnya Indonesia tidak pernah menyatakan diri sebagai negara sekuler, dan bahwa pengakuan akan nilai religius dianggap sebagai salah satu karakteristik peradaban 'Timur'. Kaum nasionalis sendiri berkepentingan dengan pembentukan citra diri yang berlawanan dengan identitas Barat, dan pemutusan dengan masa lalu kolonial dianggap sebagai indikator keberhasilan proses dekoloniasai sekaligus 'nation building' Indonesia itu sendiri. Akan tetapi pembasmian komunisme dan berakhirnya Perang Dingin telah menempatkan gerakan Islamis dalam posisi yang lebih kuat, sementara posisi kaum nasionalis sendiri menjadi lebih dilematis daripada sebelumnya.
Ketiga adalah adanya polarisasi, konflik internal dan perbedaan kepentingan di kalangan para politisi nasionalis itu sendiri yang kemudian menciptakan situasi yang menguntungkan bagi penguatan politik Islam..Jika pada tahun 1950-an kaum nasionalis sayap kiri berperan sebagai 'solidarity maker' sementara golongan nasionalis modernis dan Islam reformis menjadi elite teknokratik dan intelektual, maka situasi sekarang ini nyaris sebaliknya. Golongan nasionalis dan Islam moderat lebih berada dalam posisi intelektual dan pengelola negara, sementara kaum Islamis justru yang lebih sering tampil dalam peran yang dahulu dmainkan oleh golongan kiri. Orang-orang moderat lebih banyak berhenti pada tataran 'textbook thinking' daripada aksi konkret. Daripada sekedar melihat Habib Rizieq dan FPI-nya sebagai representasi Islam radikal, saya lebih cenderung melihatnya sebagai demagog baru yang ingin berperan sebagai 'solidarity maker' bagi komunitas muslim (ortodoks) dari aliran apapun, dan rivalitas politik yang ada sekarang memberi ia dan orang-orang sejenisnya 'panggung' untuk itu
Takfirisme dan misi keagamaan yang 'ofensif'.
Indikator paling jelas dari menguatnya Islamisme -- dan menurut saya paling buruk -- ialah kecenderungan takfirisme atau konservatisme dalam misi (dakwah) dan pengembangan agama pada umumnya. Meski ada saja argumen bahwa jika tatanan politik dan peradaban Islam dapat diwujudkan maka tatanan itu akan mewujudkan masyarakat yang sempurna dan melindungi semua orang, nyaris tak ada petunjuk bahwa ide tersebut sesuai dengan kenyataan. Tentu saja Islam yang ada sekarang sangat berbeda dengan masa kekhalifahan di Abad Pertengahan yang menjadi pusat peradaban, dimana segala bentuk pemikiran -- meskipun berasal dari warisan Yunani dan Persia -- bebas berkembang (sementara Barat berada dalam 'Dark Age'-nya).
Islam sekarang ini lebih banyak diwarnai oleh gagasan revivalis yang dalam banyak hal mengandung unsur 'resentment' atau motif 'balas dendam' atas kemunduran Islam, yang diasumsikan sebagai akibat dari penyimpangan di dalam komunitas Islam itu sendiri maupun dampak imperialisme Barat. Seperti halnya Yahudi dengan masalah anti-semitismenya maka di kalangan Islamis asumsi bahwa mereka merupakan korban (victim mentality) dan berada dalam bahaya, dimana hal ini sedikit banyak menjadi bentuk pembenaran diri untuk membangun sebuah ideologi politik-keagamaan yang lebih 'ofensif' dan cenderung tidak toleran.