Dalam sebuah demokrasi, siapa sebenarnya yang memegang kendali kekuasaan: rakyat, atau mereka yang pernah berkuasa? Di Indonesia, sebuah tarian politik eksotik sedang berlangsung saat ini ketika calon-calon pemimpin daerah---seperti Ridwan Kamil, kandidat gubernur Jakarta---melakukan sowan, kunjungan penuh hormat, kepada ikon politik seperti mantan Presiden Joko Widodo. Isyarat penghormatan ini mungkin mencerminkan rasa hormat, namun juga menimbulkan pertanyaan lebih dalam. Apakah dukungan ini mencerminkan suara rakyat, atau hanya menjadi jalan pintas menuju kekuasaan?
Indonesia memiliki budaya sowan yang berakar, melambangkan rasa hormat dan kesetiaan, terutama kepada sosok yang dipandang terhormat. Dalam konteks politik, sowan telah berkembang menjadi strategi, di mana kunjungan kepada pemimpin berpengaruh memberi legitimasi pada kandidat dan mengisyaratkan keselarasan nilai. Dukungan dari sosok yang dihormati bisa menjadi jembatan strategis menuju kredibilitas, menarik pemilih yang mungkin merasa ragu terhadap kandidat baru.
Lihat saja perjalanan Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, yang mendapatkan kepercayaan dan kredibilitas berkat hubungannya dengan Jokowi selama masa jabatannya sebagai gubernur Jakarta. Begitu pula Ridwan Kamil, mantan gubernur Jawa Barat, yang memperoleh pengakuan melalui dukungan Jokowi, yang menempatkannya sebagai figur pembangunan perkotaan progresif. Dukungan seperti ini dapat menanamkan kepercayaan, terutama di kalangan pemilih yang lebih memilih kesinambungan daripada perubahan.
Penelitian menunjukkan bahwa dukungan dari tokoh terkenal memengaruhi persepsi pemilih. Studi tahun 2017 oleh Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL) di Indonesia menemukan bahwa 62% responden lebih mempercayai kandidat yang didukung oleh pemimpin yang dihormati. Di negara-negara di mana aliansi politik dan hubungan sosial sangat dihargai, dukungan semacam ini sangat berarti. Namun, meski budaya dukungan ini berpengaruh, hal itu berisiko mengalihkan fokus dari kualifikasi dan kebijakan kandidat.
Fenomena sowan ini bahkan tampak dalam berbagai iklan kampanye, di mana para kandidat sering menampilkan tokoh-tokoh besar di latar belakang mereka. Dengan cara ini, seolah-olah para kandidat berkata, 'Saya mendapat restu mereka, maka Anda juga bisa mempercayai saya.' Alih-alih menampilkan gagasan atau kebijakan, iklan ini menggantungkan kredibilitas kandidat pada bayang-bayang tokoh besar. Ini mungkin berhasil menarik perhatian, tetapi apakah ini cara yang tepat untuk membangun kepercayaan pemilih dalam sebuah demokrasi yang sehat?"
Kritik Terhadap Pendekatan Ini
Budaya dukungan politik, meski berpengaruh, dapat membayangi nilai-nilai demokrasi seperti akuntabilitas dan meritokrasi. Ketika dukungan tokoh berpengaruh menjadi syarat utama kepemimpinan, loyalitas kepada tokoh kuat dapat mendahului kualifikasi kandidat. Ketergantungan ini mungkin mengalihkan fokus kandidat dari isu-isu publik yang mendesak ke arah membangun aliansi. Penelitian dari National Democratic Institute (NDI) menunjukkan bahwa 40% pemilih Indonesia percaya bahwa dukungan politik bisa mengalihkan perhatian kandidat dari masalah lokal yang mendesak.
Sowan juga bisa menjadi pedang bermata dua dalam politik Indonesia, seperti yang terlihat dalam beberapa kasus menonjol. Upaya sowan Anas Urbaningrum untuk membangun koneksi justru memperburuk reputasinya. Kunjungan Ahok ke ulama Islam selama kasus penistaan agamanya dianggap tidak tulus, gagal memenangkan dukungan dari segmen masyarakat tertentu dan mempengaruhi pemilihannya kembali. Sowan yang ekstensif oleh Sandiaga Uno ke tokoh-tokoh daerah selama pemilu 2019 juga dikritik dan tidak berhasil menarik cukup banyak pemilih. Sowan pada berbagai peristiwa ini dan kemungkinan besar yang ditempuh oleh Ridwan Kamil saat ini kemungkinan berpotensi menjadi bumerang, mengurangi integritas, kemandirian, atau ketulusan seorang kandidat di mata publik.
Secara global, fenomena ini sejalan dengan "politik selebriti," di mana dukungan politik membayangi kampanye yang berbasis kebijakan. Di Filipina, misalnya, ketergantungan pada dukungan dari dinasti politik dan selebriti sering kali mempromosikan kandidat berdasarkan popularitas daripada kompetensi. Fenomena ini juga semakin marak di Indonesia, dengan banyaknya artis yang maju sebagai calon pemimpin, memperlihatkan tren politik yang lebih mengutamakan popularitas daripada kapasitas. Di Indonesia, budaya sowan, ketika berlebihan, berisiko mengaburkan kualitas esensial seperti transparansi dan dedikasi kepada masyarakat.
Penggunaan Efektif dari Taktik Dukungan