Lonjakan elektabilitas Pramono Anung-Rano ke puncak survei LSI terbaru untuk Pilkada DKI Jakarta 2024 mengejutkan banyak pihak. Sebelumnya dianggap sebagai underdog, Pramono yang berpasangan dengan Rano Karno selalu tertinggal dari Ridwan Kamil-Suswono (Ridho) dalam tiga survei sebelumnya. Namun, hasil survei terbaru menunjukkan bahwa elektabilitas Pramono-Rano kini mencapai 41,6%. Menurut Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan, "jika Pilkada diadakan hari ini, Pramono-Rano akan menang." Kenaikan drastis ini mencerminkan fenomena yang digambarkan Nassim Nicholas Taleb dalam Black Swan atau angsa hitam-peristiwa jarang, tak terduga namun memiliki dampak transformatif.
Keputusan Megawati Soekarnoputri untuk mendukung Pramono, yang awalnya dianggap berisiko, kini terlihat seperti langkah strategis yang cerdas. Di tengah tren pemilihan pemimpin berdasarkan popularitas semata, pilihan Megawati tampaknya mencerminkan keyakinan pada kemampuan dan rekam jejak Pramono-suatu bentuk meritokrasi yang jarang terlihat dalam perpolitikan Indonesia.
Seperti Wamura Kotaku, yang dicemooh saat membangun tembok laut pada 1980-an untuk melindungi desanya, namun akhirnya menyelamatkan mereka dari tsunami besar Jepang pada tahun 2011, pilihan Megawati menunjukkan visi jangka panjang yang tidak banyak disadari orang. Pramono, dengan pembawaannya yang tenang dan jauh dari kontroversi, kini mulai menarik simpati pemilih yang lelah dengan ketidakstabilan politik. Elektabilitasnya yang terus naik membuktikan bahwa kesabaran strategis dan wawasan lebih berharga daripada respons politik terburu-buru yang hanya berfokus pada popularitas semata.
Taleb dalam teorinya tentang Black Swan menekankan bahwa peristiwa paling penting dan transformatif sering kali sulit diprediksi. Pemikiran konvensional biasanya mendasarkan prediksi masa depan pada pola dan kejadian masa lalu, mengasumsikan bahwa tren kasat mata seperti tingkat elektabilitas adalah keniscayaan. Namun, Taleb mengingatkan agar kita tidak meremehkan kemungkinan terjadinya peristiwa langka dan ekstrem yang bisa bersifat transformatif.
Dalam konteks ini, keputusan Megawati untuk mendukung Pramono sebagai calon gubernur DKI mencerminkan pemahamannya terhadap fenomena Black Swan, dengan mendasarkan keputusannya bukan pada popularitas semata, tetapi pada kapabilitas dan rekam jejak calon pemimpin. Pemilihan yang didasarkan pada prinsip meritokrasi ini bisa dianggap sebagai "Black Swan" dari tren umum saat ini, di mana banyak pemimpin dipilih semata-mata karena popularitas, terlepas dari kemampuan atau rekam jejak mereka.
Penunjukan Pramono oleh PDIP adalah bukti nyata dari konsep ini. Pendekatan Pramono yang tenang dan mantap, didukung oleh strategi Megawati, telah mengubahnya menjadi simbol stabilitas di tengah politik Jakarta yang sering kali bergejolak. Seperti tembok laut Wamura yang dibangun untuk menghadapi ancaman yang belum terlihat, dukungan Megawati tampaknya dirancang untuk mencegah krisis politik yang mungkin muncul, mengingat ketegangan yang terjadi pada Pilkada 2017.
Meskipun tokoh-tokoh seperti Anies Baswedan dan Ahok masih populer, keputusan Megawati kemungkinan didasarkan pada pertimbangan stabilitas jangka panjang dan kemampuan Pramono untuk menjaga ketenangan dalam situasi sulit. Sebagai Sekjen PDI-P dan Sekretaris Kabinet Jokowi selama dua periode, Pramono memiliki pengalaman yang luas dalam meredam ketegangan antara tokoh-tokoh besar seperti SBY, Megawati, Jokowi, dan Prabowo. Kemampuan mediasi yang jarang dimiliki oleh kandidat lain ini sangat relevan di tengah iklim politik Jakarta yang sering terpolarisasi.
Keputusan Megawati ini jelas bukan langkah tanpa perhitungan. Setelah pengalaman pahit pada Pilkada 2017 yang penuh perpecahan, Megawati tampaknya mencari sosok yang dapat menurunkan ketegangan tersebut. Pramono, dengan ketenangannya dan rekam jejak sebagai pemersatu, tampak sebagai pilihan tepat untuk menghindari terulangnya ketegangan sosial. Meskipun sempat diragukan, lonjakan elektabilitas Pramono membuktikan bahwa langkah Megawati bukan spekulasi semata, melainkan keputusan strategis yang matang dan berbasis merit.
Wamura Kotaku dan Megawati Soekarnoputri adalah contoh pemimpin visioner yang mampu melihat jauh melampaui kritik dan ketidakpopuleran. Seperti halnya pembangunan tembok laut Wamura, yang dirancang untuk menghadapi bencana tak terduga, langkah Megawati dalam mendukung Pramono adalah upaya antisipatif untuk menghadapi krisis politik yang mungkin belum terlihat saat ini, tetapi bisa berdampak besar di kemudian hari.
Dalam skenario Taleb, Megawati sedang mempersiapkan Jakarta untuk menghadapi Black Swan-peristiwa politik yang tidak terduga tetapi berdampak besar. Dengan memilih Pramono, seorang mediator berpengalaman dengan rekam jejak yang solid, Megawati seolah-olah membangun "tembok politik" untuk melindungi Jakarta dari badai yang mungkin datang.
Meski Pramono kini berada di puncak survei, tantangan tetap ada. Popularitas Anies Baswedan dan Ahok masih menjadi faktor penting yang perlu diperhitungkan, dan Pramono harus bekerja keras untuk menarik dukungan dari pendukung mereka. Selain itu, elektabilitas tinggi tidak menjamin kemenangan, seperti yang terlihat pada kasus Foke-Nara tahun 2012 dan Ahok pada tahun 2017. Namun, sejarah menunjukkan bahwa pemimpin terbaik tidak selalu berasal dari kandidat terpopuler, sebagaimana dibuktikan oleh Jokowi dan Ahok pada Pilkada 2017.