Menyusul terbongkarnya sejumlah praktek aborsi ilegal di Jakarta minggu lalu, berbagai pihak kembali ramai-ramai menyalahkan “pergeseran moral” sebagai biang kerok maraknya aborsi di Indonesia. Tapi isu paling krusial sebenarnya terletak pada apa yang kita sebut “kebebalan masal”, kebiasaan kita sebagai bangsa mengabaikan akar masalah seksual.
Kiblat dari gagasan ini adalah berbagai hasil riset di sejumlah negara maju.Menurut hasil-hasil penelitian itu, sementara larangan untuk berhubungan seks gagal menekan angka kehamilan tak diinginkan (KTD) yang sering bermuara pada aborsi, pendidikan seks secara terintegrasi dan keefektifan penggunaan alat kontrasepsi adalah dua faktor kunci dalam menurunkan KTD di Eropa maupun Amerika.
Kita tentu sepakat bahwa menunda hubungan seks, terutama di kalangan remaja, adalah cara ampuh untuk mencegah KTD. Tetapi faktanya ialah semakin banyak remaja Indonesia yang berhubungan badan (51% di Jabotabek, 54 di Surabaya, 47% di Bandung dan 52% di Medan) kata Sugiri Syarif dari BKKBN. Lebih parah lagi—menurut Sudibyo Alimoesa (juga pejabat BKKBN pusat)—remaja menyumbang 1-1.5 juta (40%-60%) dari 2.5 juta kasus aborsi per tahun di Indonesia.
Maraknya aborsi di Indonesia tak lepas dari pendidikan seks yang masih minim. Berdasarkan hasil penelitiannya di sekolah-sekolah di Indonesia, Professor Terrence Hull dari Australian National University menyimpulkan bahwa pendidikan seks di Indonesia belum menyentuh kebutuhan hakiki para siswa.
Padahal dengan mengintegrasikan pendidikan dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas—sesuai perkembangan dan kebutuhan anak—Belanda memiliki tingkat kelahiran bayi terendah di dunia, 5.1 per 1000 penduduk wanita berusia 15-19 tahun. Bandingkan dengan 45 per 1000 penduduk usia 15-19 tahun di Indonesia. Bukan cuma itu, Statistics Netherlands melaporkan pada tahun 2011 bahwa tingkat aborsi dan prevalensi HIV remaja Belanda berkisar 2,5 dan 3.5 kali berturut-turut lebih rendah dari remaja Amerika Serikat.
Peneliti-peneliti seperti Kost dan Henshaw juga melaporkan bahwa pendidikan seks dan kemudahan mendapatkan alat kontrasepsi berhasil menurunkan hingga 42% kehamilan wanita berusia 15-19 tahun di Amerika, angka terendah dalam beberapa dekade terakhir. Dari kedua metode ini, penggunaan kontrasepsi secara efektif menyumbang 82% keberhasilan.
Tetapi di Indonesia, “Remaja sudah bisa aktif secara seksual, namun sulit memperoleh alat kontrasepsi”, kata Sudibyo Alimoesa dari BKKBN. “Akibatnya terjadi kehamilan yang tidak diinginkan". Ia juga menambahkan bahwa penyumbang aborsi terbesar justru datang dari para pasangan menikah yang sekitar 9% dari 45 juta yang ingin berkeluarga berencana (KB), namun kesulitan mendapatkan alat kontrasepsi.
Masalah-masalah di atas tentu tak lepas dari cara pandang kita sebagai bangsa terhadap masalah seks. Kita masih saja menggantungkan harapan kita pada teknik berpantang seks untuk menekan KTD. Padahal menurut laporan peneliti Guttmacher Institute, cara ini sangat “tidak efektif karena tidak dapat menunda hubungan seks pada remaja, cenderung memberikan informasi ilmiah yang tidak akurat dan berpotensi menyesatkan”.
Lebih miris lagi, ketika pendekatan ini gagal, kita malah menggunakan jurus “reaksi panik”, mengucilkan remaja-remaja hamil dalam masyarakat atau mengeluarkan mereka dari sekolah—tindakan-tindakan yang perlu dipertanyakan kepatutannya secara budaya, etika, moral maupun agama.
Kenyataannya ialah seperti gagasan sejumlah pakar (termasuk Maslow, Freud): “Eksplorasi seksual di antara orang-orang muda adalah bagian penting dari perkembangan kesehatan semua individu dan merupakan bagian alami dari sebuah proses pendewasaan”.
Kegagalan memaknainya berakibat fatal: (1) kematian jutaan jiwa (calon bayi ibu hamil) akibat aborsi setiap tahun di Indonesia, (2) maraknya aborsi ilegal dan (3) hilangnya generasi muda potensial akibat pernikahan dini (40% perempuan Indonesia menikah sebelum 20 tahun, pernikahan dini tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Kamboja).