Lihat ke Halaman Asli

Masalah Revisi UU Anti Teror

Diperbarui: 2 Februari 2016   17:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menyusul serangan teroris di Jalan Thamrin awal tahun ini, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendaftarkan revisi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 (UU Anti Teror) ke Program Prioritas Legislasi Nasional 2016 pada tanggal 26 Januari lalu. Dalam sekejap mata, sejumlah pihak pun ramai-ramai bergabung dalam arak-arakan kelompok pendukung ide pemerintah dan DPR itu seperti tim sukses di musim pemilukada.

Namun bagi banyak pihak lain, amandemen ini tak ubahnya menggarami air laut, tidak efektif untuk menuntaskan masalah terorisme di Indonesia dan justru berpotensi menciptakan masalah-masalah baru.

Menurut pakar hukum pidana, profesor Andi Hamzah, dan para pendukung revisi lainnya, amandemen itu ampuh jika mengatur antara lain (a) perluasan wewenang kepolisian, (b) penangkalan radikalisasi lewat agama, pemberantasan kemiskinan dan penyediaan lapangan kerja, (c) hukuman lebih berat dan lapas khusus untuk mendukung program deradikalisasi dan (d) larangan penerbitan paspor maupun pencabutan hak kewarganegaraan bagi mereka yang berjihat di luar Indonesia.

Tetapi bagi pengamat terorisme dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Zaki Mubarak, para penggagas revisi ini sebetulnya tidak tahu apa yang mereka lakukan. “Akar persoalan terletak bukan pada undang-undang tapi peningkatan kapasitas kepolisian dan intelijen di tanah air. Itu yang mesti di-upgrade [ditingkatkan) jangan salahkan undang-undangnya” katanya.

Argumen Mubarak memang beralasan karena memenjarakan teroris di lapas khusus sekalipun belum tentu memecahkan masalah. Menurut Dirjen PAS Untung Sugiono, para teroris bisa saling tukar informasi dan konsolidasi jika mereka dipenjara di lapas khusus. Menempatkan mereka di penjara dengan keamanan maksimum pun sangat tidak efektif dan memberikan hasil terbalik ungkap Dr. Clarke Jones dari Australian National University.

Sementara itu, peneliti Indonesian Corruption Watch Johnson Panjaitan mengendus ada permainan di balik rencana revisi UU No. 15 Tahun 2003 ini. Tiap kali ada kasus seperti ini [serangan teroris], para pihak terkait selalu saja meminta perluasan kewenangan dan tentu saja ini ujung- ujungnya uang lagi bukan untuk para prajurit pelaksana di lapangan apalagi
untuk rakyat, tapi untuk para elit tuduhnya.

Masalah lain terkait perluasan kewenangan polisi maupun pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemberantasan terorisme ialah peluang melanggar hak asasi manusia dan menuntut pemerintah membuat keputusan politik kata Koodinator Kontras Usman Hamid. “Kalau memakai Undang-undang Kepolisian, perlu Peraturan Pemerintah untuk TNI melakukan perbantuan tugas polisi. Jika memakai UU TNI, maka perlu aturan sekelas UU untuk TNI bisa terlibat lebih jauh dalam pemberantasan terorisme”.

Tapi persoalan tidak berhenti di situ karena pelibatan TNI menurut Usman hanya pada kejahatan teror yang mengancam kedaulatan negara atau ada ancaman eksternal. Ia mencontohkan Amerika Serikat yang dalam pemberantasan antiterorisme hanya menggunakan operasi militer di luar wilayahnya seperti di wilayah Afghanistan atau Guantanamo.

Dengan kata lain, revisi undang-undang anti teror ini berpotensi melanggar hak asasi manusia dan menabrak berbagai UU lain, menciptakan reaksi berantai revisi berbagai undang-undang lain.

Padahal berbagai perangkat hukum pendukung undang-udang anti teror sebetulnya sudah tersedia tinggal tergantung kemampuan pihak-pihak terkait untuk menyelaraskannya kata Direktur Imparsial Al Araf. Selain itu, Al Araf menambahkan bahwa dengan perangkat undang-undang yang sama Indonesia sebenarnya cukup berhasil mengatasi berbagai masalah teroris seperti Nurdin M. Top dan juga peristiwa teror di Jalan Thamrin.

Selain itu, radikalisme hanyalah sebagian dari potret utuh dari teka-teki penyebab terorisme sehingga pemerintah dan pihak terkait perlu mencari bukti-bukti empiris bukan hanya memelototi dan mengertakan gigi pada radikalisasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline