Sejak pemilu presiden selesai pada bulan Juli 2014, sejatinya Indonesia memasuki era pemerintahan yang terbelah.Alasan kuat yang mendasari tesis tersebut adalah suara konstituen pemilu yang memang terbagi secara berimbang kepada kedua calon presiden ketika itu.Di satu sisi, drama pelantikan presiden Jokowi pada 21 Oktober 2014 seolah memberikan kesan bahwakompetisi itu sudah berakhir.Apalagi pihak yang kalah terlihat legowo dan beritikad baik untuk mensukseskan pelantikan presiden.Ya, akhirnya momen pelantikan itupun mulus dan berujung kepada pesta pora kemenangan politik yang berbaur dengan pesta rakyat di jalan-jalan protokol Ibukota.Namun, pada sisi yang lain justru semangat kompetisi itu seolah mendeklarasikan diri dan memberikan tanda baru dimulai.Drama pelantikan presiden mengirimkan pesan implisit bahwa ternyata kompetisi baru saja dimulai, bukan telah berakhir!.
Lalu apa yang kita saksikan setelah itu?.Tidak berselang lama dari periode pelantikan, kompetisi hangat di kalangan pemimpin mulai menjadi tontonan gratis masyarakat yang cenderung membosankan.Di DPR lebih dari satu bulan gontok-gontokan berebut kursi dan pengaruh.Sampai ada DPR tandingan yang belum pernah kita dengar sebelumnya sepanjang Indonesia merdeka.Di kalangan internal partai politik pun cakar-cakaran berkompetisi dimana masing-masing pihak menyatakan merekalah yang legal dan yang lain ilegal.Mulai dari kisruh di PPP sampai hari ini kita menyaksikan kompetisi negative di Partai Golkar.Lalu partai apa lagi yang akan menyusul?.
Tidak berhenti sampai disana, demi mengejar kekuasaan kompetisi hebat pun kembali terjadi di kalangan aparat penegak hokum antara KPK dengan Polri.Ada yang menyebutnya sebagai kriminalisasi, dan ada pula yang mengatakannya sebagai pelurusan konstitusi.Bahkan kompetisi itu pun menjalar ke pemimpin tingkat lebih rendah, yaitu antara Gubernur Ahok dengan DPRD DKI.Sekali lagi, masing-masing pihak sangat bernafsu untuk mengatakan dirinya benar dan menelanjangi pihak lain.Sayalah yang benar dan kamu itu salah.
Semua pertikaian tersebut, sampai hari ini tidak ada yang memberikan pengaruh positif terhadap perbaikan nasib bangsa ini.Justru dampaknya secara langsung terhadap sendi-sendi kehidupan dan kesulitan perekonomian masyarakat semakin terasa.Suku bunga bank terus naik, rupiah semakin melemah bahkan sudah kembali ke level yang sama di tahun 1998 lalu, harga-harga kebutuhan pokok meroket tajam seperti beras, bawang merah dan daging.Barang pokok itu saat ini langka yang katanya dipermainkan oleh mafia tertentu.Listrik naik, tol akan naik.Begal terjadi dimana-mana, banjir masih menyisakan kisah duka, dan banyak lagi derita masyarakat.
Pertanyaan besarnya, mengapa para pemimpin Indonesia hari ini lebih senang memelihara semangat kompetitif ketimbang semangat kolaboratif?.Dalam situasi Negara yang kritis begini, semestinya para pemimpin mengumandangkan dan mempraktekan semangat kolaboratif, dan tidak mengumbar nafsu kompetisi yang cenderung negative.Apa bedanya antara semangat kompetitif dengan semangat kolaboratif?.Semangat kompetitif memiliki esensi bahwa “ Saya harus menang dan Kamu harus kalah”, sedangkan semangat kolaboratif memiliki filosofi dasar bahwa “ Kita berdua atau kita semua HARUS menang dan mendapatkan manfaat ” demi kemaslahatan yang lebih besar dan lebih banyak.Dalam diri pemimpin yang selalu berkobar semangat kompetitif, kepeduliannya terhadap diri sendiri JAUH lebih DOMINAN daripada kepeduliannya terhadap orang lain.Sedangkan jika para pemimpin memiliki semangat kolaboratif, maka kepeduliannya terhadap diri sendiri SEIMBANG atau sama porsinya dengan kepeduliannya terhadap orang lain.
Indonesia hari ini dan masa mendatang, sangat membutuhkan para pemimpin dengan semangat kolaboratif, bukan pemimpin yang berperilaku kompetitif!.Namun, apakah kondisi ini bisa kita peroleh dalam waktu dekat ini?.Apakah kompetisi dan nafsu memenangkan diri dan kelompok sendiri akan mereda di bulan-bulan selanjutnya?.Feeling saya mengatakan bahwa masyarakat harus banyak bersabar dan berdoa untuk hal itu.Tampaknya kompetisi demi kompetisi akan masih terjadi di tahun ini bahkan tahun depan.Mungkin akan ada lagi partai yang bertikai secara internal, mungkin friksi antara eksekutif dengan legislatif kembali akan menajam bahkan cenderung lebih banyak mudaratnya, mungkin juga kompetisi ini semakin merebak tidak hanya ke kalangan pemimpin pusat, juga pemimpin daerah tingkat 1 bahkan tingkat 2.Dan kompetisi-kompetisi lainnya.
Apakah kondisi ini diciptakan atau ada sutradara tersembunyi yang memiliki grand scenario?, apakah pemimpin tertinggi negeri ini akan mampu menyadarkan semua pihak termasuk dirinya untuk kembali kepada garis perjuangan bangsa yang sangat mulia?.Jawaban saya: Wallahuwaalam bissawab!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H