Lihat ke Halaman Asli

Walkhot Silalahi

Mencerdaskan generasi penerus bangsa

Surat Bunda!

Diperbarui: 21 April 2024   17:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bunda, sudah lama beristirahat di alam baka. Namun wajah Bunda selalu menemani hari-hari ku. Setiap teringat akan lebutnya belaian Bunda, tanpa dikomando air mata berlinang.  "Permata hati dan pelita hidup bahagiaku ada pada dirimu anakku!" Tak tahu makna kalimat ini waktu itu. Namun sekarang kucoba memaknai kata mutiara dan pelita. Mutiara tidak jadi dalam waktu yang cepat. Kerang mutiara sering kali terluka, dan luka itulah yang menggumpal bulat, mengeras dan menghasilkan mutiara berharga. Pelita tidak bisa menyala tanpa bantuan sumbu dan minyak yang ditaruh dalam botol kecil. Kepergian Ibunda menguang semua kenapa aku dinaggap mutiara dan pelita hidupnya. 

Ku buka almari tua peninggalan Ibunda. Wajah Ibunda tersenyum manis mengenakan pakaian putih berjilbab hitam. Wajah ketulusan dalam pelayanan tampak dari foto itu. Lalu ketika kusibakkan pakaian putih ada buku catatan usang mungkin sudah puluhan tahun. 

Halaman pertama. Memang cinta itu buta. Tatapanmu itu membuatku terpana. Inikah cinta? Kenapa harus menatap jika berujung pada jatuh cinta? 

"Tulisan Ibunda atau tulisan siapa ini ya?" Hatiku bertanya pada diri sendiri. 

Kuteruskan membaca, Kenapa dirimu harus menatapku sampai-sampai mata ini enggan tertutup. Dongan ini seakan-akan menatapku terus, membuatku tersipu malu. 

Kenapa Aku jadi tersenyum manja membaca tulisan Ibunda. Aku tak pernah tahu wajah Ayahku. Karena, setiap kali kutanya Ibunda tentang Ayah. Ibunda hanya menatap dan selalu berkata "Permata hati dan pelita hidup bahagiaku ada pada dirimu anakku!" disertai linangan air mata. Memang Bai punya marga yang ada di namaku. Permata Yanda. 

Ku terkenang kembali dan aku penasaran dengan kata ini, kucoba membaca cepat untuk mencari kalimat,  "Permata hati dan pelita hidup bahagiaku ada pada dirimu anakku!" Dan kutemui kalimat itu dengan judul, "Buah Cinta Permata Bahagia". 

"Kamu harus bertanggungjawab Dongan, Aku sudah terlambat bulan. Ini hasilnya tanda merah." Membaca ini tulisan ini berarti aku adalah anak hasil hubungan tanpa ikatan? 

"Yang terlambat bulan itu kamu, bukan aku. Yang kenal dan dekat sama kamu itu bukan hanya aku tapi banyak. Jangan jebak aku dengan kalimat terlambat bulan." Membaca ini berarti aku anak haram. Air mataku menitik deras. "Benarkah aku terlahir tanpa ikatan pernikahan hanya karena kawin aku ada?" Hatiku berteriak. 

"Jadi Kamu menganggap aku ini ada lelaki lain?" lanjutan cerita Ibunda dalam tulisannya. "Jawab saja sendiri." Jawaban ketusmu itu Dongan membuatku hampir pingsan. "Jika janin ini hasil dari perbuatan lelaki lain, biarlah aku mati dan janin ini. Tapi jika kandungan ini adalah buah cinta permata bahagia, berarti kamulah yang mati. Dan anak ini tetap jadi pelita dalam hidupku. Tak akan memadamkan sucinya cintaku padamu." Kalimat ini menambah deras air mataku. Rahasia Ibunda yang begitu lama disembunyikan. Setiap kali aku bertanya tentang Ayah dimana? Selalu dijawab,  "Permata hati dan pelita hidup bahagiaku ada pada dirimu anakku!". 

Kulanjutkan membuka lembaran berikutnya. "Lihat, sampai aku melahirkan dan selamat berarti cepat atau lambat kamu akan mati Dongan. Kupertaruhkan ketulusan cintaku untuk permata hati dan pelita hidup bahagiaku ada pada dirimu anakku! Dan setiap kali anak ini bertanya tentang ayahnya, Aku akan jawab Permata hati dan pelita hidup bahagiaku ada pada dirimu anakku!" 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline