Dulu aku hidup bebas di alam bebas di perbukitan, di lembah, bahkan pengunungan. Setiap kali aku ditemukan aku dijaga seperti menjaga bayi dipenuhi kesabaran dan kewaspadaan. Keunikan tubuhku dibungkus dengan aroma khas alami dari kejauhan aroma tubuhku tercium. Para pelancong tak segan-segan menyiksa tubuhku hanya untuk mendapatkan aroma tubuhku.
Tubuhku dikuliti sampai tempat aku berpijak pun walau sembunyi dibalik tanah yang gembur tetap saja aku disiksa sampai ujung akar kakiku.
Memang aku hanyalah penebar aroma namun tak berniat jadi perusak kebugaran tubuh sesama yang hidup di hutan luas. Anak negeriku menyapaku Haumeni, sedangkan anak negeri seberang yang rindu aroma tubuhku memanggilku Santalum album, dan anak negeri satu wilayahku memanggilku Cendana.
Aku baru terjaga dan tersentak ternyata nilai tubuhku sangat mahal. Aku disiksa para pecinta aroma tubuhku dengan segala cara. Anak negeriku sebenarnya tidak mau membinasakan tubuhku, karena untuk mengeluarkan aroma tubuh khasku disaat aku berusia 5 tahun.
Diusia lima tahun baru hatiku yang mengeluarkan aroma khas tubuhku. Namun disaat aku sudah memasuki usia 15 tahun sampai akar tubuhku mengeluarkan khas aroma Haumeni.
Sekalipun aku hidup di alam terbuka, namun setelah tubuhku dikuliti dan diracik sedemikian rupa maka aku tinggal diantara aroma terapi, campuran parfum, sangkur keris atau warangka, bahan dupa juga sebagai rempah-rempah. Sewaktu aku masih di alam terbuka hanya anak negeri saja yang dekat denganku.
Disaat aku sudah bubuk kayu aku tinggal diantara himpitan kemegahan dan kemewahan rumah besar terbungkus keegoisan. Aku sedih, sangat sedih disaat aku dijemur berhari-hari supaya keringatku keluar, dan disaat aku mengeluarkan keringat disaat itulah sang tuan yang sudah membeliku merasa tenang dan serasa sang tuan menikmati aroma tubuhku di alam terbuka.
Penyiksaan secara halus, sang tuan tidak pernah sadar bahwa aku sekarang ini sudah langka, hampir punah dimakan usia karena anak negeriku sudah malas merawat tubuhku.
Anak negeriku di pedalaman negeri Dawan, Lamaholot, Sabu, Numberala, dan hampir dipelosok negeri Timor enggan merawatku. Enggan merawatku karena harus menunggu tahun baru menikmati aroma tubuhku, anak negeriku hanya suka menyiksa, namun enggan mebudidayakanku kembali. Aroma tubuhku hanya mau dinikmati namun tidak mau dilipatgandakan agar kembali beraroma seperti dulu kala.
Sekarang aku hanya jadi bahan rebutan para pecinta aroma terapi. Dibudidayakan sedemikian rupa diberi pupuk yang tak biasa bagi tubuhku yang penting aku bisa dipotong bahkan dikuliti dalam waktu yang singkat. Sadis bagi tubuhku manis bagi penikmat aroma tubuhku.