Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata
Ini adalah penggalan dari lirik lagu “indonesia tanah air beta” yang jika kita renungi dan resapi kembali akan menunjukkan bahwa tanah air kita mungkin dulu, adalah tempat yang sangat menyenangkan bagi anak-anak, menenangkan bagi orang-orang tua, menentramkan bagi remaja. Karena jika kita lihat akhir-akhir ini banyak sekali bencana alam dan banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, baik pelanggaran moral dan sosial maupun pelanggaran etika dan aturan negara. Semua itu menjadikan para pejabat disalahkan, dan para penegak hukum diragukan.
Memang, masyarakat dan negara yang tentram atau damai bisa dilihat dari para pemimpinnya. Karena jika pemimpin adil masyarakat akan makmur dan negara akan aman, tapi makin hari kita merasakan keresahan di rumah sendiri, merasa takut dan khawatir di daerah sendiri. Teknologi dan informasi yang semakin maju sebenarnya menjadikan masyarakat aman, karena segalanya semakin mudah. Tapi, tidak sedikit dari saudara-saudara kita yang memanfaatkan teknologi untuk melakukan hal-hal yang tidak patut, human trafficking, penipuan, pelanggaran ham, dll.
Semua itu terjadi karena ekonomi yang tidak merata dan pendidikan yang jauh dari harapan. Dengan dalih kemiskinan orang akan melakukan tindakan-tindakan yang dilarang, dan walaupun pendidikan mengajarkan tentang moral, tapi itu sebatas ajaran tanpa perlakuan. Guru yang sebenarnya harus ”digugu dan ditiru” sekarang menjadi “diguyu dan ditinggal turu”, itu karena pendidikan lebih mementingkan aspek keilmuan tanpa adanya aspek moral.
Tahun demi tahun jamaah haji bertambah sampai-sampai kelebihan kuota, tapi jumlah penerima zakat juga tidak mau kalah jumlahnya semakin bertambah. Hari demi hari semakin banyak perguruan tinggi mengeluarkan sarjana dan ilmuwan, tapi jumlah pengangguran semakin hari semakin berjejeran, korupsi ikut menjadi-jadi. Banyak sekali sarjana hukum yang masuk hukuman, banyak juga sarjana ekonomi yang memainkan ekonomi untuk diri sendiri.
Sebenarnya dari masalah-masalah yang dihadapi negara kita itu bukan karena kurangnya orang-orang pintar, tapi masih kurangnya orang-orang yang benar. Karena orang pintar yang tidak benar akan menjadikan kepintarannya untuk menipu, menjilat, dan memperkosa ham. Jika kita lihat demo-demo sekarang, itu semua ada yang menunggangi. Tapi masyarakat sekarang semakin cerdas karena sering dibohongi, disuruh dukung minta bayaran, disuruh protes harus ada uangnya, disuruh diam pun minta uang diamnya.
Dengan demikian akan memperjelas gambaran akan kerusakan-kerusakan ditengah-tengah masyarakat. Pejabat yang tidak sinkron dengan masyarakat, karena mereka jarang dan tidak pernah turun ke daerah, baru menjelang pileg, pilgub, dan pilpres mereka akan turun kejalan dengan menebar janji dan slogan. Pendidikan yang selama ini dikatakan 9 tahun, dan sekarang 12 tahun gratis, tapi karena ada sekolah-sekolah yang bahkan bermerek negeri dengan alasan uang gedung lah, uang infaq lah, dan masih banyak lah-lah yang lainnya, yang menjadikan pendidikan masih dikatakan mahal.
Pengobatan murah atau gratis tidak menjamin pelayanan yang memuaskan tapi menyepelekan dan mengabaikan, bagaimana tidak dokter yang sebenarnya menolong malah membiarkan pasien dengan alasan libur panjang, cuti bersama, dan sebagainya. Karena pasien membawa kartu bukan uang, dan karena pasien berpenampilan acak-acakan dan urakan.
Tapi itu semua tidak bisa kita limpahkan kesalahan pada sekolah dan rumah sakit, karena guru dan dokter juga manusia dan mempunyai hak sebagaimana yang lainnya. Jika para pemimpin membenarkan kewajiban mereka dengan melayani masyarakat akan memudahkan rakyat dalam mendapatkan hak berpendidikan dan pengobatan, karena dengan begitu rakyat akan merasakan aman untuk berlindung, dan para pahlawan akan bangga dan bahagia menutup mata, melihat negara yang mereka bela dengan jiwa dan raga bisa melindungi anak cucunya.
Semua harapan yang kita tambatkan pada para pemimpin bukan karena kemampuan mereka, tapi karena kita percaya pada mereka yang pandai bicara dan berkata-kata. Kita yang sebagai masyarakat biasa hanya bisa diam jika dibodohi dan hanya bisa protes jika tak dapat subsidi, karena jika kita ingin menuntut hak dan keadilan kita juga harus mengeluarkan uang jaminan.
Dari semua masalah yang ada akhir-akhir ini, sebenarnya hanya dua yang menjadi faktor dan akar dari masalah-masalah yang dihadapi negeri ini. Ekonomi yang kurang pemerataan dan pendidikan yang jauh dari jangkauan. Ekonomi yang hanya berputar diantara segelintir golongan saja menjadikan golongan marjinal yang untuk mendapat sesuap makanan mereka saling sikut-sikutan. Pendidikan yang terlampau mahal menjadikan masyarakat kurang menghiraukan pendidikan, akhirnya mereka lebih memilih bekerja walau umur masih belia.Istilah “Negara impossible” itu tetap menempel jika penyelesaian masalah tidak berangkat dari akar masalahnya. Dan itu semua menjadi tanggungjawab kita sebagai orang yang makan dari hasil bumi dan minum dari airnya, kita butuh banyak negarawan. Karena negarawan akan selalu memikirkan nasib generasi yang akan datang, filosof abad 18 Fredrick Angel mengatakan “seorang politikus akan selalu memikirkan pemilu yang akan datang, tapi seorang negarawan akan memikirkan generasi mendatang.”
Dengan begitu, saatnya para pemuda bangsa harus menatap masa depan dengan optimis dan penuh tanggungjawab, karena negara butuh para pemuda yang selalu bergerak dan berjuang walau dengan hal-hal yang sangat kecil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H