Seorang perempuan menerabas pengamanan Paspampres. Lantas ia bersujud di kaki Jokowi. Awalnya mungkin Jokowi mengira perempuan itu adalah penggemar beratnya. Rupanya bukan. Si ibu menangis, meminta pemerintah membayar ganti rugi rumah dan tanahnya yang dirampas untuk pembangunan jalan tol.
Si bu yang lantas pingsan rupanya mewakili 50 keluarga di Tanjungsari, Natar, Lampung Selatan yang rumahnya digusur, tapi tidak mendapat ganti rugi.
Peristiwa itu menjadi tamparan keras bagi Jokowi. Pada debat kedua capres, Jokowi dengan sangat meyakinkan tidak ada konflik agraria sepanjang pemerintahannya, khususnya dalam rangka pembangunan infrastruktur. Jokowi juga mengatakan warga senang karena mereka mendapatkan ganti untung, bukannya ganti rugi.
Benarkah ganti untung?
Kasus ibu di Lampung itu bukan yang pertama.
Tahun lalu sebanyak 125 kepala keluarga warga terkena proyek (WTP) jalan Tol Semarang- Batang, di Kendal, Jawa Tengah, mengungsi ke gedung DPRD Kendal. Mereka merupakan pemilik dari 140 bidang baik rumah maupun sawah yang dieksekusi dan berasal dari delapan desa yang ada di wilayah Kabupaten Kendal. Aksi dilakukan lantaran tanah rumah dan sawah mereka dihargai dengan tidak sepadan.
Kasus-kasus perampasan tanah oleh negara adalah imbas penerapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah). UU tersebut melegalkan perampasan tanah, walau disebutkan untuk kepentingan pembangunan dan publik.
UU itu memaksa rakyat untuk setuju pada harga yang ditawarkan pemilik modal. Posisi rakyat pemilik tanah pun dilemahkan dalam masalah ganti kerugian. Tak ada aturan dalam UU tersebut yang mengatur masalah harga ganti kerugian melalui jalur musyawarah mufakat. Ganti kerugian akan menggunakan penafsiran pemerintah dan patokan harga yang tidak dapat dikompromikan. Jika terjadi sengketa, maka akan langsung dibawa ke pengadilan.
Reforma Agraria ala Jokowi
Bak sinterklas, tak terhitung berapa kali Jokowi membagi-bagikan langsung sertifikat tanah kepada rakyat. Pekerjaan yang, maaf, mestinya tak dilakukan seseorang sekelas presiden. Cukuplah level camat yang melakukannya.
Namun lepas dari itu, mari kita bicara soal legalisasi aset atau bagi-bagi sertifikat tanah ala Jokowi itu.