Lihat ke Halaman Asli

Melorotin Jemuran

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_43109" align="alignleft" width="298" caption="ilustrasi foto : kompas.com / Getty Images"][/caption]

Setiap kata yang berjatuhan kau lempari itu, aku ganyang. Kulumat, dan kujejal ke tenggorokan. Kupilin-pilin tiap kalimat yang kau tulis berbaris, lalu kutelan dengan sepuluh jariku. Jatuh mangga kalimat perlahan dari atas layar. Turun ke bawah, dan kuwadahi keranjang untuk bekal piknik nanti.

Mantramu yang kau simpan di balik baju kata-kata itu menjadi umpan. Ikan wader kelaparan sepertiku. Kata-katamu membuat kenyang ruh yang melayang di langit otak dan kesadaran.

Bakar, Bakar!!

Biarkan apinya membakari tiap kata yang terselip di karbon kayu. Biarkan kata itu melorot seperti hujan. Biarkan kata itu melotot seperti matahari yang menjemur kalimat-kalimat siang. Atau pandangan bulan yang perlahan menelanjangi tubuhnya dari sarung awan.

Wahai Jiwa-jiwa...

Kata itu…., mantra yang kau saput dengan asap, melayang jauh seperti lembing, jatuh menusuk jantung kesadaran manusia. Menghunjam dan menusuk denyutnya, mencengkram akarnya melahirkan tetumbuhan surga.

Desing suara katamu, memelihara ganyang. Geraham yang gemeretuk memantik kaki-kaki untuk menari. Mengayun gemerincing kaki bersuara sambil menari.

Kata-katamu adalah perkusi emas. Gendang dan etek-etek. Musik surga yang kau cipta dari buah huldi yang kau gerus isinya. Koprak-koprak, suaranya kau pukul, mengajak burung manyar menari.

Obrolan yang kau lempar, kenyal dan segar. Kuganyang ala kadar.

Diskusimu mencipta embun yang menetes di ari-ari yang telah bertahun-tahun kutanam di tanah ini. Siramkan lagi, agar haus itu meluberkan lumpur.

“Pakai saja walau masih kotor dan kumal!! “ katamu.

Kata-kataku yang sedang nangkring di tali jemuran, kujambret. Api yang berkobar dalam dada, memberi petunjuk gegar. Hingga tak malu, kucumbu bau tengik baju, kumal kertas bekas, compang-camping kata, kulempar dalam api, terbakar menjadi asap wangi.

Biarkan aku menari lintang kangkang. Mencium wangi telanjang.

2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline