Prawacana
Pertanian ibarat kuil kuno yang eksotik. Saya menyebut "kuil kuno yang eksotik" karena beberapa alasan tertentu. Pertama, pertanian adalah "dunia" yang penuh keindahan filosofi dan daya tarik spiritual.
Kedua, pertanian merupakan salah satu peradaban tertua dalam sejarah manusia. Ketiga, membicarakan pertanian sama halnya membicarakan hasil karya kebudayaan.
Keempat, celakanya ia seringkali dijadikan obyek bagi para penguasa dan kaum industrialis. Dan kelima, kita mengagumi "kuil kuno yang eksotik" namun enggan untuk merawat dan memeliharanya. Adakah diantara kaum muda tertarik, berminat dan terpanggil menjadi "penjaga kuil kuno yang eksotik" ini?
Potret Buram Moralitas Kaum Tani
Potret masa lalu kaum tani Indonesia memiliki wajah yang murung dan buram. Sejarah mencatat bahwa kaum tani adalah kaum pemberontak. Semoga kita tidak amnesia dengan Pemberontakan Petani Ciomas (1886), Gerakan Petani Banten (1888), Peristiwa Gedangan (1904) Gerakan Petani Samin (1917), Pemberontakan Petani Cimareme, Garut (1919), dan Pemberontakan Pak Jebrak di Brangkal (1919).
Peristiwa-peristiwa tersebut hanyalah sedikit gambaran yang mempertegas bahwa kaum tani adalah kelompok radikalis. Kata "radikal" berasal dari bahasa Latin, yaitu "radix" yang artinya akar. Kaum tani menjadi radikal karena dorongan "sadhumuk bathuk sanyari bumi". Memperjuangan hak atas tanah adalah soal harga diri, martabat dan "mikul dhuwur mendhem jero", menghargai para leluhur. Inilah ajaran moral dan filosofi kaum petani Jawa yang dijunjung tinggi.
Dalam pengertian umum, moral diartikan sebagai pengetahuan (ajaran) yangmenyangkut budi pekerti. Moral juga berarti keterampilan dan kemampuan untuk membedakan hal yang baik dan buruk. Moral menyangkut soal akhlak manusia. Menurut asal katanya "moral" dari kata mores dari bahasa Latin, yang kemudian diterjemahkan menjadi "aturan kesusilaan".
Merujuk pada James Scoot (1976) dalam karyanya yang berjudul "The Moral Economy of the Peasant : Rebellion and Subsistence in Southeast Asia", mendefinisikan moral ekonomi sebagai pengertian petani tentang keadilan ekonomi dan definisi kerja mereka tentang eksploitasi-pandangan mereka tentang pungutan-pungutan terhadap hasil produksi mereka yang dapat ditolerir dan yang tidak dapat ditolerir.
Dengan demikian peristiwa pemberontakan di atas tidak hanya dimaknai sebagai gerakan moral, namun juga sebagai tindakan hegemonik dalam artian digerakkan oleh motif ekonomi dan ketidakadilan sosial yang dialami oleh para petani Jawa.
Studi James Scoot diatas diilhami oleh desertasi doktoral Sartono Kartodirdjo (1960) yang sebelumnya melahirkan desertasi doktoralnya di Amsterdam. Desertasi itu kini menjadi karya monumental sekaligus referensi wajib bagi peneliti dan peminat kajian gerakan sosial petani.
Desertasi berjudul "The Peasant Revolt of Banten in 1888", yang kemudian alihbahasakan dan dibukukan menjadi "Pemberontakan Petani Banten 1888: Sebuah studi kasus mengenai gerakan sosial di Indonesia". Desertasi ini juga menginsipirasi untuk penelitian sosial dan politik petani Jawa bagi generasi berikutnya.
Sebut saja penelitian Hotman Siahaan (1996), dengan desertasi doktoralnya yang berjudul "Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi". Atau Endang Suhendar dan Yohanda Budi(1998) , meneliti "Kondisi dan Kebijakan Agraria, Pola dan Level Konflik Petani, Aktor-aktor yang Terlibat dan Upaya Penyelesaian Konflik Petani".