Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Widayat

Seorang eseis sastra, politik dan budaya. Penulis tinggal di Gunungkidul.

Tentang Pagebluk dan Mitos

Diperbarui: 22 September 2020   00:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

 "Ketika ingatan menjadi penuh beban, ia mencari kebisuan yang dalam" 

(Khalil Gibran)

Wajah Raden Pandu masygul, sedih tak terkira. Dihadapannya, bergelimang mayat rakyat jelata. Kerajaan Sriwedari porak poranda dan sunyi karena diserang wabah penyakit. Didampingi Prabu Dasabahu dan para punakawan, Raden Pandu berusaha tetap tegar. 

a pun lalu mendekati Semar. Ki Semar kemudian membisikkan mantra penolak bala. Raden Pandu langsung bergegas menuju Setragopaya, kuburan nan luas di Kerajaan Sriwedari. Raden Pandu memejamkan mantra sejenak, sejurus kemudian ia membacakan mantra.

Tiba-tiba terdengar jeritan dari para makhluk halus, penghuni kubur Setragopaya.  Para penghuni kubur merasa kepanasan karena tuah mantra Raden Pandu. Bahkan Sang Ratu Makhluk Halus pun melolong kesakitan. Ratu Makhluk Halus itu tak lain adalah arwah Dewi Panitra, istri Prabu Dasabahu -- Raja Kerajaan Sriwedari.

Demikian sekuel lakon wayang "Raden Pandu Nyirep Pagebluk".

Pagebluk

Bagi orang Jawa, wabah penyakit bukanlah hal baru. Tidak mengherankan, kosakata bahasa Jawa terkait wabah penyakit cukup banyak tercatat, antara lain: pagebluk, kalabendhu, pralaya, mahalaya dan malapetaka. Merujuk pada Zoetmoelder (1995), seorang ahli bahasa Jawa Kuno dan filolog mengatakan bahwa pagebluk berasal dari kata dasar "gebluk", yang artinya jatuh, tumbang, dan tersungkur.

Pagebluk dengan demikian gambaran suatu kondisi dimana korban jiwa berjatuhan, bertumbangan, ataupun jatuh tersungkur. Hal tersebut  terjadi secara serentak bahkan berskala luas hingga menewaskan banyak orang.

Tanah Jawa bukanlah tanah yang bebas dari pagebluk, wabah penyakit. Wabah penyakit flu Spanyol, kolera dan pes setidaknya pernah memporakporandakan para leluhur kita. Dan kini kita tengah gagap dan gamang dengan hadirnya wabah pandemik (pagebluk) Corona Virus (Covid 19).

Covid 19 pun serta merta mengubah cara berpikir kita tentang kesehatan, ekonomi, sosial budaya dan bahkan agama. Tidak kalah menarik adalah bagaimana orang Jawa merespon Covid 19 melalui sikap dan perilakunya. Agaknya respon-respon yang muncul adalah indikasi tentang "melawan lupa" sebagai sebuah memoria passionis (ingatan akan penderitaan).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline