Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Fadhli

Buku, pesta, dan cinta

Calon Sarjana yang Gelisah

Diperbarui: 24 Februari 2019   19:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.district100.com

Banyak teman-teman saya yang telah sarjana mengalami sebuah dilema untuk melaju melanjutkan kehidupan. Mereka dihadapkan pada dua pilihan. Bertahan dengan idealisme atau menyerah pada realita. 

Seorang teman yang telah menyandang status sarjana ilmu kimia mendadak menyerah dan kalah dari realita. Dulu ia bercita-cita akan menciptakan sebuah unsur kimia baru yang nanti akan di tempelkan dalam tabel periodik. 

Setelah dia lulus dan berhadapan dengan kenyataan, ia sadar bahwa menjadi penemu unsur kimia tidak menghasilkan banyak uang dan butuh kesabaran. Sampai akhirnya ia menyerahkan idealismenya dalam sebuah pabrik bahan kimia di dekat rumahnya. Ada seorang kawan dari jurusan hukum yang tidak lama ini menyelesaikan pendidikannya dan menyandang gelar sarjana hukum. 

Awalnya ia berambisi akan menata ulang sistem hukum di Indonesia yang tengah carut marut ini. Ia tekun belajar, ia ikuti seminar-seminar hukum yang ada untuk menunjang keilmuannya. Namun, pada akhirnya ia juga kalah. Ia menyerah pada sebuah kenyataan yang mengatakan bahwa hierarki hukum tertinggi di Indonesia tidak terletak pada Mahkamah Agung, melainkan pada oknum-oknum yang punya jaringan dan koneksi dimana-mana sehingga bisa dengan mudah merusak putusan yang telah putus.

Tak hanya idealisme tentang keilmuan yang mereka tinggalkan, tetapi juga perihal perpolitikan dan kehidupan. Mahasiswa dan semula sangat getol mengritik Pemerintah, aktif dalam setiap demonstrasi, hingga yang dulunya dianggap sebagai orator handal, kini semua itu tinggal kenangan sebab lagi-lagi realita membunuh idealisme mereka. 

Mereka yang dulu mengikuti ormek di kampus yang notabene adalah underbouw dari parpol-parpol besar, kini telah bablas dan ikut masuk terlalu dalam pada parpol tersebut. Bahkan dulu kata mereka bahwa ikut parpol tidak masalah asalkan bisa menahan arus, kini mereka ikuti arus tersebut dan melahirkan daftar nama yang terjerat kasus di KPK. 

Sebuah realitas yang miris telah terjadi dalam jajaran kaum intelektual muda Indonesia. Sejatinya mereka tengah kebingungan, mempertahankan idealisme atau pasrah pada kenyataan. 

Hal seperti ini sebenarnya sudah menjadi kekhawatiran pada era mahasiswa pasca kemerdekaan. Soe Hok Gie, seorang mahasiswa UI angkatan '66 telah merasakan hal ini sebelumnya. Gie juga merasa bahwa teman-teman seperjuangannya dulu mengalami hal seperti itu tadi. 

Dalam Zaman Peralihan dituliskan bahwa "pada akhirnya seorang sarjana kimia akan bekerja di pabrik-pabrik sabun, atau seorang mahasiswa hukum akan sadar bahwa ada hukum yang paling tinggi, yaitu jaringan dan koneksi" atau pada curhatannya dalam Catatan Seorang Demonstran yang ditulis "saya melihat kawan-kawan yang dulu getol mengritik pemerintahan Soekarno, saat ini malah berkoalisi dengan militer dan masuk dalam parlemen. Begitu mudahnya mereka menjual idealisme mereka untuk mendapatkan mobil-mobil mewah itu". 

Dari beberapa tulisan Gie tersebut, dapat dilihat bahwa mental kaum intelektual dari dulu hingga sekarang tidak banyak mengalami perubahan (atau mereka saja yang belum bisa membedakan idealisme dengan realita) dalam proses akhir pendidikan mereka. 

Mereka masih cenderung mengalah pada kenyataan, mereka kalah dengan budaya kapitalisis yang merajalela. Agaknya tulisan-tulisan Gie tersebut masih bisa disebut relevan jika dibenturkan dengan kondisi saat ini. Seakan itu adalah sebuah ramalan yang dituliskan oleh Gie untuk intelegensia saat ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline