Ada korelasi yang pasti antara kas pendapatan negara dengan kondisi global. Muramnya ketidakpastian global membuat menteri keuangan di banyak negara pusing memutar strategi, agar pendapatan negara senantiasa berada pada tren surplus.
Tentu, hal tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang digunakan serta model pendapatan negara yang dijadikan sandaran.
Di tengah stagfalasi global yang dipicu eskalasi krisis Ukraina dan terganggunya rantai pasok membuat banyak negara terjerembab pada tren negatif fiskal.
Kita patut bersyukur, di tengah kecamuk ancaman kegagalan negara seperti Sri Lanka, Indonesia tetap berada dalam lajur pemulihan ekonomi yang positif pasca pandemi.
Beberapa analisis ekonom menyebut kita tengah mengalami blessing in disguise atau berkah terselubung di tengah ketidakpastian global.
Hal tersebut dibuktikan dengan realisasi penerimaan negara yang masih bertengger di angka surplus.
Mengacu kepada rilis Menteri Keuangan tentang perkembangan APBN (27/07), surplus APBN kita mencapai 73.6 triliun rupiah yang setara dengan 0,39 persen Produk Domestik Bruto (PDB).
Setidaknya dua hal yang mengungkit angin baik tersebut. Yakni commodity boom atau lonjakan harga komoditas dan realisasi pajak.
Bagi negara model ekonomi ekstraktif yang mengandalkan komoditas ekspor bahan mentah, maka kehadiran commodity boom bak angin segar bagi pendapatan negara. Pasalnya, kelangkaan komoditas yang diakibatkan oleh ketidakpastian global membuat harga-harga dikerek mencapai puncaknya.
Melesatnya penerimaan negara selama satu semester ke belakang menandai ruang fiskal kita kian longgar. Yang berarti gerak APBN untuk ekspansi kian terbuka, demikian pun disiplin fiskal menuju defisit APBN 3 persen PDB menemukan jalannya.