Huru-hara batubara di Indonesia membuka lembaran 2022. Isu ini menarik untuk dituangkan dalam tulisan, lantaran salah satu fokus pekerjaan saya bertalian dengan transisi ke energi bersih. Dan bak minyak dan air yang tidak mungkin menyatu, batubara dicap sebagai antitesis atas progres transisi energi bersih. Sebenarnya apa yang terjadi?
Prinsip dasar ekonomi barangkali cukup memberikan penjelasan, follow the money. Bisa dibilang, tahun 2021 membuat banyak pengusaha batubara silau dengan harga jual yang begitu menggiurkan. Awal Januari 2021, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan harga batubara acuan (HBA) pada USD 75,84 per ton. HBA ditutup di level USD 159,79 per ton di penghujung 2021. Apabila dirata-rata, HBA sepanjang tahun 2021 adalah USD 121,47 per ton, jauh di atas harga rata-rata di tahun 2020 yang hanya USD 58,17/ton. Di lain sisi, harga pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) batubara hanya di angka USD 70/ton. Sehingga, wajar bila para pengusaha ramai-ramai mengekspor.
Efeknya, pasokan batubara untuk pasar domestik mengalami kelangkaan. Padahal, sektor kelistrikan memiliki porsi terbanyak sebagai pemakai pasokan batubara dalam negeri.
Mengacu kepada data dari Kementerian ESDM tahun 2021, bahwa sektor pembangkit energi listrik Indonesia membutuhkan 113 juta ton atau setara 82 persen dari total pasokan.
Melihat potensi lubang krisis, Pemerintah langsung mengambil inisiatif intervensi kebijakan larangan ekspor batubara. Sebuah keputusan yang memantik huru-hara di kalangan para pemain batubara. Tentu, ini adalah keputusan yang sulit. Apakah memilih menutup kran deras devisa dari batubara, atau mengambil risiko blackout.
Setidaknya ada 10 juta pelanggan PLN terdampak bila keputusan pelarangan tersebut diambil. Tidak hanya masyarakat umum saja, tetapi juga industri baik di dalam maupun di luar Jawa, Madura, dan Bali (JAMALI). Total ada 20 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan kapasitas terpasang 10.850-megawatt (MW) yang akan berhenti mengepul lantaran kekurangan pasokan batubara.
Apalagi PLTU yang membakar batubara berkontribusi 65% terhadap bauran energi primer di Indonesia. Bia dipastikan, Indonesia akan diselimuti kegelapan lantaran kekurangan pasokan batubara dalam negeri.
Bila digali akar permasalahannya, maka kita akan bertemu dengan beberapa persoalan fundamental. Pertama, disparitas harga DMO batubara dengan harga pasar serta perlu adanya penjadwalan kebutuhan setiap pembangkit. Sehingga, diperlukan penghitungan kecukupan stok hingga pengiriman untuk menambah pasokan setiap bulannya.
Kedua, terkait dengan kontrak jual-beli batubara. Alangkah lebih baik bila dibuat secara jangka panjang, untuk menghadirkan kepastian.
Satu hal yang tak boleh terlewat, bahwa kontrol negara terhadap pengusaha tidak boleh lemah, apalagi kalah. Karena faktanya, batubara adalah sumber daya alam yang dikuasai negara. Pengusaha hanyalah aktor yang harus tunduk dan patuh terhadap aturan main yang dibuat oleh negara.