Lihat ke Halaman Asli

Moh Wahyu Syafiul Mubarok

Part time writer, full time dreamer

Energi Terbarukan untuk Indonesia Rendah Karbon

Diperbarui: 22 Agustus 2021   22:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Redd on Unsplash   

Terhitung lebih dari setengah tahun pandemi menyelimuti bumi. Berbagai macam kejadian penting tidak bisa dihindarkan. Struktur ekonomi yang diambang resesi, gaya hidup normal baru, hingga akselerasi kebijakan untuk menang melawan Covid-19. Seburuk apa pun kondisinya, beberapa pengamat menyebut hari ini adalah momen titik balik bagi bumi.

Negara-negara di dunia berlomba mencuri start untuk menghidupkan kembali ekonomi yang telah lama mati suri. Beragam keputusan yang melingkupi momen tersebut akan menentukan apakah bumi ini dapat bangkit kembali menjadi lebih ramah lingkungan dan lebih tangguh untuk generasi mendatang, atau justru sebaliknya.

Indonesia memilih langkah pemulihan build back better, sebuah konsep untuk memulihkan ekonomi, sosial dan menjaga kelestarian lingkungan. Menurut BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), konsep tersebut mengadopsi pemulihan pasca-bencana. Tujuannya untuk menghindari terjadinya kondisi kerentanan dan menjadikan proses pemulihan sebagai transformasi sosial, ekonomi, dan lingkungan menuju arah yang lebih baik. Kebijakan tersebut adalah implementasi Peraturan Presiden No. 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Secretary of State for Business, Energy, and Industrial Strategy Inggris, Alok Sharma, dalam kolom opini Kompas (24/08) menyebut bahwa Pemulihan ekonomi ramah lingkungan adalah pilihan paling masuk akal. Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon sendiri menunjukkan, jalur pembangunan rendah karbon akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi tertinggi dan paling inklusif bagi Indonesia.

Peluang Energi Terbarukan

Saat ini, bauran energi dunia masih didominasi oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil dengan porsi 75 persen di tahun 2018. Sedangkan kontribusi EBT (Energi Baru Terbarukan) baru menyumbang listrik global sisanya. Terdapat lima jenis EBT yang populer dikembangkan di sejumlah negara, yakni pembangkit listrik tenaga air, tenaga angin, tenaga surya, tenaga bioenergi, dan tenaga panas bumi.

Sebuah Laporan berjudul Global Energy Transformation: a Roadmap to 2050 memberikan simulasi rencana peningkatan bauran EBT secara bertahap. Target bauran EBT pada 2030 sebesar 57 persen, tahun 2040 mencapai 75 persen, kemudian pada 2050 diharapkan EBT menyumbang 86 persen energi dunia.

Namun, untuk menggapai target tersebut Pemerintah harus merogoh anggaran yang tidak sedikit. Bauran EBT sebesar 23 persen harus dikejar setidaknya dengan biaya 37 miliar dollar AS. Jauh lebih besar bila dibandingkan dnegan nilai investasi pembangunan infrastruktur nasional periode 2016-2019 senilai Rp 390 triliun.

Walaupun demikian, bidang energi terbarukan menjadi satu-satunya pilar yang dapat membantu pemulihan investasi sektor energi di Indonesia. Pengembangan energi terbarukan bisa menyerap tenaga kerja baru sekaligus membantu mengurangi alokasi subsidi listrik di masa mendatang. Sementara sektor energi fosil paling terpukul akibat pandemi Covid-19.

Komoditas batubara, misalnya, harga acuan pada Agustus 2020 tercatat 50,34 dollar AS per ton atau turun dari Juli 2020 yang sebesar 52,16 dollar AS per ton. Tren penurunan harga batubara terjadi sejak Maret lalu atau sejak pandemi Covid-19 di Indonesia merebak. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline