Besok tanggal 30 Oktober 1946 satoe hari jang mengandoeng sedjarah bagi tanah air kita. Rakjat kita menghadapi penghidoepan baroe. Besok moelai beredar Oeang Repoeblik Indonesia sebagai satoe-satoenja alat pembajaran jang sah. Moelai poekoel 12 tengah malam nanti, oeang Djepang jang selama ini beredar sebagai oeang jang sah, tidak lakoe lagi. Beserta dengan uang Djepang itoe ikoet poela tidak lakoe oeang Javasche bank. Dengan ini toetoeplah soeatoe masa dalam sedjarah keoeangan Repoeblik Indonesia. Masa jang penoeh dengan penderitaan dan kesoekaran bagi rakjat kita!
Pidato Wakil Presiden Mohammad Hatta melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta tanggal 29 Oktober 1946[1]
Wacana Redenominasi rupiah kembali mengemuka pada pertengahan tahun 2019 dalam sesi uji kelayakan terhadap calon Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti di DPR. Namun wacana yang pertama kali digulirkan di akhir tahun 2010 oleh Bank Indonesia atau hampir satu desawarsa yang lalu itu masih harus menempuh proses yang panjang untuk dapat mulai diimplementasikan, apalagi sampai saat ini Rancangan Undang-Undang tentang Redenominasi, sebagai syarat mutlak mewujudkan hal tersebut, belum masuk ke dalam pembahasan di DPR.
Berbagai resiko yang sangat mungkin timbul dari implementasi Redenominasi itu benar-benar membuat semua pihak begitu hati-hati menyikapi hal tersebut. Resiko yang mungkin timbul itu diantaranya adalah kepanikan dan kebingungan masyarakat yang belum paham terhadap hakikat redenominasi yang sebenarnya hanya berupa penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Ada kekhawatiran jika redenominasi disikapi sebagai sanering yang merupakan kebijakan pemotongan nilai uang yang akan berdampak pada pemotongan daya beli masyarakat.
Selain itu resiko lainnya yang dikhawatirkan adalah inflasi yang timbul akibat sikap pembulatan harga barang ke atas seiring denominasi yang diakibatkan ketiadaan uang dalam satuan sen. Contoh, harga barang senilai Rp1.100 akan menjadi Rp1,1 setelah redenominasi. Apabila, tidak ada ketersediaan mata uang baru satuan sen, harga barang akan mengalami pembulatan menjadi Rp2 sehingga mengalami kenaikan hampir 100%.[2]
Namun sebenarnya resiko-resiko tersebut bukan sesuatu yang perlu disikapi secara paranoid. Dalam kenyataannya di masyarakat redenominasi semu bahkan sudah terjadi secara alami. Banyak pelaku usaha resto, caf dan lain-lain baik online maupun offline ketika menawarkan harga barang maupun jasa yang menulis harga ribuan dengan huruf K. huruf K sendiri mewakili arti Kilo dan Kilo sendiri berarti seribu dalam Bahasa Yunani. Sebagai contoh Rp10.000,- ditulis dengan 10K dan banyak orang yang sudah paham hal yang demikian.