Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Sudrajat

peminat masalah hukum, sosial, politik dan ekonomi

Kekuasaan Negara dan Kesejahteraan Hakim

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara adalah organisasi kekuasaan terbesar yang pernah diciptakan oleh peradaban manusia. Kekuasaan dahsyat yang dimiliki oleh Negara apalagi jika berpusat pada satu pemegang kekuasaan pernah membuat seorang Fir’aun lupa diri sehingga berkata “Ana Rabbakumul a’la”. Aku adalah Tuhan kalian yang tertinggi.

Meskipun Negara dibentuk pada hakikatnya untuk kesejahteraan dan kebaikan warga negara. Akan tetapi bagaimanapun Negara adalah abstrak, in konkreto-nya ada pada pemegang jabatan Negara yang berarti salah satu dari warga Negara juga. Dan warga Negara yang diberi jabatan Negara ini pada dasarnya adalah tetap manusia yang berarti sama dengan warga Negara yang lain yang punya kehendak yang belum tentu selaras dengan keinginan warga Negara yang lain. Kelebihannya dibanding warga Negara yang lain, sang pemegang jabatan memiliki kekuasaan Negara. Oleh karenanya Kaisar Perancis, Raja Louis XIV  pernah berkata “L’etat c’est Moi”. Negara adalah saya.

Tentang karakter kekuasaan yang berada pada seseorang maka ucapan Lord Acton penting dikemukakan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Atas hal itu Montesquieu memperingatkan : “There would be an end of everything, were the same man or the same body, whether of the nobles or of the people, to exercise those three powers, that of enacting laws, that of executing the public resolutions, and of trying the causes of individuals”.

Oleh karena kekuasaan Negara yang berpusat pada satu tangan cenderung sewenang-wenang maka kekuasaan tidak boleh berpusat pada satu orang. Harus ada pemisahan kekuasaan. Teori ini kemudian menjadi arus utama penyelenggaraan kekuasaan Negara meskipun dengan penafsiran yang terus bergerak sesuai situasi dan kondisi negara-negara di dunia. Meskipun perkembangan zaman tidak hanya  mengenal tiga lembaga kekuasaan murni sebagaimana Teori Montesquieu, kekuasaan Kekuasaan utama Negara pada dasarnya tetap dibagi ke dalam 3 kekuasaan Utama yaitu Eksekutif, Legislatif dan Judikatif.

Kekuasaan Judikatif yang di Indonesia disebut kekuasaan kehakiman pada dasarnya memiliki 2 fungsi utama. Pertama, Menyelesaikan sengketa dalam Negara baik itu antar warga Negara ataupun antara warga Negara dengan Negara. Kedua, mengimbangi kekuasaaan Eksekutif agar tidak berlaku sewenang-wenang;

Kembali kepada kenyataan bahwa Negara adalah abstrak tanpa pemegang jabatan Negara maka demikian juga dengan yang melakukan kekuasaan kehakiman sebagai salah satu kekuasaan Negara. Kekuasaan Kehakiman yang menurut ketentuan Pasal 24 UUD 1945 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi pada hakikatnya adalah lembaga yang abstrak jika tidak ada warga Negara yang secara nyata melakukan kekuasaan tersebut. Pelaku jabatan Negara dalam kerangka kekuasaan kehakiman inilah yang kita kenal sebagai Hakim.

Oleh karenanya in konkreto Kekuasaan Kehakiman ada pada diri para Hakim. Hakim adalah Pelaku Nyata Kekuasaan Kehakiman. Tanpa Hakim maka seluruh Badan Peradilan hanyalah angan-angan belaka. keberadaan Hakim adalah penjelmaan dari sebagian wujud Negara itu sendiri.

Karakter Kekuasaan Kehakiman.

Diantara tiga kekuasaan utama Negara, Alexander Hamilton dalam The Federalist menyatakan :Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang paling lemah. Salah satu alasannya dikarenakan kekuasaan kehakiman tidak dapat menentukan anggarannnya sendiri.

Anggaran kekuasaan kehakiman yang ditentukan oleh dua kekuasaan Negara lainnya termasuk di dalamnya anggaran untuk kesejahteraan hakim membuat kekuasaan kehakiman sangat tergantung dan rentan dari campur tangan kekuasaan Negara lainnya. Padahal kesejahteraan hakim adalah salah satu kunci dari kemandirian kekuasaan kehakiman.

Alasan utama argumentasi tersebut adalah ada dalam 2 sisi dari diri seorang hakim. Sebagai seorang manusia, hakim memiliki kebutuhan-kebutuhan layaknya manusia lain seperti sandang, papan dan pangan. Tidak tercukupinya kebutuhan tersebut tentu akan membuat hakim sebagai seorang manusia secara alamiah akan berusaha mencari jalan agar dapat keluar dari masalah tersebut. Hal itu adalah naluri dasar makhluk hidup untuk bertahan hidup yang tidak mungkin dibendung dengan apapun.

Sisi yang selanjutnya, seorang hakim sebagai penjelmaan nyata dari sebagian wujud Negara memiliki kekuasaan besar yang langsung berhubungan dengan kepentingan dasar warga Negara. Berbeda dengan kekuasaan Negara lainnya yang produknya merupakan kebijakan yang bersifat umum, produk kekuasaan kehakiman berupa putusan langsung menyentuh individu-individu warga Negara yang berperkara. Hal ini membuat kekuasaan kehakiman langsung bersentuhan dengan hajat hidup setiap warga Negara yang berperkara. artinya sangat banyak pihak yang berkepentingan terhadap putusan hakim.

Selain itu untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan, pemenuhan kebutuhan hidup hakim hanya diperbolehkan dari satu sumber yaitu penghasilan resmi sebagai hakim dari Negara. Hakim dilarang menjalankan profesi lain yang akan berpotensi mengganggu netralitasnya sebagai pengadil. Hal tersebut tertuang dalam PP No. 36 Tahun 2011;

Kombinasi antara dua sisi tersebut berkelindan dengan sempurna. Artinya sebagai manusia, ketika kebutuhan dasar hidup hakim terpenuhi sudah seyogyanya hakim melaksanakan tugasnya sepenuh jiwanya. Sebaliknya ketika kebutuhan dasar hidup hakim tidak terpenuhi maka harus diwaspadai suatu keadaan sebagai seorang manusia yang secara naluriah selalu berupaya untuk bertahan hidup, hakim dihadapkan pada suatu keadaan yaitu adanya kekuasaan besar menyangkut hajat hidup orang banyak di tangannya.

Terhadap keadaan tersebut, jika tetap kokoh pada tugasnya maka hal itu adalah suatu keadaan yang luar biasa dan akan makin mengokohkan kewibawaan hukum. Tetapi jika keadaan tersebut memaksa hakim memilih jalan yang berseberangan maka ada keadaan yang pada hakikatnya secara langsung mengancam keberlangsungan hukum dan ketertiban bukan hanya masyarakat tapi juga Negara. Corruption by greed berawal dari Corruption by need. Hal itu bukan sesuatu yang dapat dibenarkan dengan alasan apapun, tapi dari persfektif kemanusian adalah sangat manusiawi jika manusia berupaya untuk bertahan hidup;

Jika pemanfaatan (baca : korupsi) kekuasaan oleh hakim untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bertemu dengan kepentingan-kepentingan banyak pihak yang berperkara maka hal itu akan menciptakan kombinasi sempurna yang membahayakan nilai-nilai hukum dan keadilan. Keadaan terakhir akan mendorong hukum menjadi komoditi yang ditentukan oleh permintaan dan penawaran dan keadilan akan menjadi barang dagangan;

Berdasarkan hal tersebut kemandirian hakim secara ekonomi bukan hanya masalah membuat sejahtera hakim sebagai manusia tetapi juga langkah pencegahan jabatan Hakim diselewengkan oleh orang yang memangku jabatan tersebut. Kesejahteraan Hakim adalah jaminan untuk terlaksananya tugas hakim sesuai konstitusi. Jika tidak maka bukan hanya hakim yang terancam tapi lebih jauh hal tersebut adalah ancaman terhadap hukum dan keadilan;

(pernah dimuat di Harian Fajar.... sumber : http://www.fajar.co.id/read-20120423224932-kekuasaan-negara-dan-kesejahteraan-hakim )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline