Lihat ke Halaman Asli

Serang: Sebuah Kota, Sepenggal Cerita

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedang berada disebuah café di ruas jalan protokol yang ada di kota Serang Provinsi Banten, “Rumah Kopi” begitu nama café ini disebut, sontak ketika masuk kedalam area café, saya langsung teringat dengan “Kedai Kopi” sebuah café yang ada di Jogja, dengan konsep yang sama persis dengan café yang sedang saya kunjungi malam ini, kelebihan dari “Kedai Kopi” adalah terletak pada kuantitas minuman dan makanan yang ditawarkan, “Kedai Kopi” menawarkan variasi minuman dan makanan yang lebih beragam, dengan berbagai varian cara penyajian dan jenis kopi yang ditawarkan pun beragam. Entah apakah ini adalah “ATM” (Amati-Tiru-Modifikasi) dari “Kedai Kopi” yang ada di Jogja, namun yang jelas café ini membuat saya bergumam “Akhirnya ada juga yah yang kayak gini di Serang.”

Mungkin kalimat penutup diakhir paragraf pertama saya tadi terasa berlebihan, seakan-akan Serang adalah kota sepi yang penduduknya paling banter hanya bisa menikmati ayam goreng KFC sebagai makanan mewah mereka. Tapi memang itulah yang pada kenyataannya bisa dilihat di Serang, kota kecil yang merupakan ibukota dari provinsi Banten ini, memang sangat kurang dalam hal fasilitas publik dimana dalam fasilitas publik itu, warga masyarakatnya dapat sekedar berkumpul, ngobrol, atau bahkan meeting dengan relasi kantornya. Serang sibuk membangun Mall dan pusat perbelanjaan lain yang sejatinya sudah cukup, malahan, semakin banyaknya Mall yang ada, cenderung membuat masyarakatnya semakin konsumtif.

Kemarin saya juga mengunjungi salah satu shop-on-shop yang ada di Serang, selagi saya menikmati secangkir Hot Americano saya nyambi nge-tweet, topiknya masih sama dengan tulisan saya ini.

“Tadi buka puasa di mesjid agung Serang, dan cuma mikir tentang 1 hal, dimana tempat di Serang ini yang bisa dipake buat gather arround..”

“Adalah sangat nggak bijak kalo membandingkan Serang dan Jogja, dua kota ini punya hal yang nggak bisa dibenturkan, tapi judulnya sama: KOTA”

“Pasar untuk cafe dan "tempat nongkrong" di Serang ini sebenernya ada, dan punya potensi untuk berkembang, mungkin belum dilirik aja”

“Sekarang saya masih berdiam di salah satu mall terbesar di Serang, di sebuah kedai kopi didalam mall nya, isinya remaja akhir, dan ini(cont)

...bukti kalo Serang punya pasar yang potensial untuk buka cafe-cafe, untuk pangsa pasar yang menyasar pada anak muda, cuma sayangnya (cont)

...mindset developer masih saja terpaku pada mall, atau pusat perbelanjaan, yang sebenernya sudah cukup. Saya cuma berharap (cont)

...akan banyak orang-orang kreatif yang jeli melihat peluang kalo Serang ini butuh tempat untuk sekedar meeting dan ngopi-ngopi.”

Ada dua hal yang kemudian menjadi concern saya dalam topik tulisan ini, yang pertama adalah soal toko ritel besar, dan urban-planner. Dua hal yang menurut saya cukup berkaitan dan tidak menampik pula akan peran pemerintah sebagai penentu kebijakan yang ada di wilayah Serang khususnya.

Serang, sejauh yang saya tahu memiliki tiga toko ritel besar; Giant, Carrefour, dan yang paling besar adalah Lotte Mart, belum lagi ditambah dengan Mall dan pusat perbelanjaan lain yang menyesakki jalanan utama kota Serang. Dengan berdirinya toko-toko ritel besar ini, dampak langsung yang dapat dirasakan oleh pedagang-pedangang kecil di pasar tradisional adalah berkurangnya pembeli mereka, yang cenderung akan beralih berbelanja di toko-toko ritel itu karena dinilai lebih modern, lebih bersih, dan lebih nyaman untuk berbelanja dibandingkan harus pergi ke pasar tradisional, belum lagi diskon-diskon yang ditawarkan oleh toko ritel, biasanya menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen untuk berbelanja.

Kalau saja Serang ingin belajar dari Solo dibawah kepemimpinan Joko Widodo sebagai Walikota Solo, mungkin kejadiannya tidak seperti saat ini. Jokowi begitu beliau akrab disapa, berhasil membangun puluhan pasar tradisional yang berdampak langsung pada peningkatan ekonomi pedagangnya. Karena pada dasarnya kegiatan ekonomi kerakyatan, ada di pasar tradisional, bukan di Mall. Interaksi sosial bisa terjalin lebih “merakyat” ketika berada di pasar tradisional, bukan hanya kegiatan transaksional yang terjadi di pusat perbelanjaan modern.

Hal selanjutnya adalah soal keberadaan urban-planner, urban-planner atau perencana wilayah dan perkotaan, saya rasa cukup vital ada di kota Serang ini, bagaimana tidak, urban-planner memiliki peran penting untuk menata sebuah kota menjadi wilayah yang teratur, tertib, dan nyaman untuk dihuni oleh masyarakat yang berdiam didalamnya, dengan studi demografi dan kelayakan suatu bangunan/gedung dibangun, para urban-planner setidaknya dapat membantu mengatasi kesemrawutan kota Serang yang semakin hari semakin berpolusi ini. Pertanyaannya adalah, sudahkan pemerintah kota membuka akses yang cukup bagi para urban-planner untuk ikut menata kotanya? Atau hanya dijadikan pelengkap dan konsultan bayaran untuk melakukan mark-up anggaran dalam membangun sebuah proyek pembangunan fasilitas publik.

Sebagai warga kota Serang, saya hanya menitipkan harapan untuk kota ini, kota ini memiliki potensi yang cukup untuk berkembang, kota ini memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjadi kota yang berdaya saing bahkan di tingkat internasional sekalipun, yang harus dilakukan adalah tentang bagaimana kota ini bisa berbenah dan menyusun tata kelola kota yang cukup apik, dan lebih teratur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline