Lihat ke Halaman Asli

It Takes Two to Tango

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu saat ada seorang pemuda menangis. Seorang bijak bestari melihat lalu menghampirinya. “Kenapa, nak?” “Aku ditinggalkan oleh orang yang sangat kucintai. Katanya dia tidak lagi mencintaiku!” “Hahahaha!” Pemuda itu terheran sambil tetap menangis tersedu. Orang lagi sedih kok malah diketawain. “Aku bilang, aku ditinggalkan oleh orang yang sangat kucintai. Aku sedang sedih, wahai kakek.” “Hahahahaha. Hahahahaha.” Merasa diejek dengan keadaannya, sang pemuda makin bersedih. Tangisnya makin deras. “Anak muda, tenanglah. Tenang dulu. Tadi aku tertawa karena memang lucu.” “Apanya yang lucu, kek. Jelas-jelas aku sedih, orang yang sangat kucintai pergi” “Anak muda, ini memang benar-benar lucu. Seharusnya kau gembira sekarang karena ditinggalkan oleh orang yang sama sekali tidak mencintaimu. Seharusnya, yang menangis adalah perempuan yang meninggalkanmu. Karena telah menyiakan seorang pemuda yang sangat mencintainya.” Sang bijak bestari meninggalkan sang pemuda yang tercenung….

Saya lupa sumber dari cerita di atas (silakan diingatkan bila ada yang tahu). Hanya saja, dalam keseharian kita sangat banyak kita jumpai kejadian seperti di atas. Seorang pemuda yang tersedu meratapi (mantan) wanitanya pergi meninggalkannya. Atau seorang perempuan yang sempat sangat menyesali hidupnya karena merasa tidak dapat membahagiakan pasangannya. Dan — sama saja — pasangannya memutuskan untuk meninggalkannya.

Seperti yang kita tahu bahwa sebuah hubungan interpersonal memerlukan dua orang untuk menjadi harmoni. It takes two to tango, katanya. Perlu lelaki dan perempuan untuk bisa menampilkan tarian tango yang indah. Sebuah kapal rumah tangga kelak memerlukan seorang nakhkoda yang bisa memimpin dan mengambil keputusan dengan bijak. Dibantu oleh sang navigator handal yang memiliki ability domestik yang all-around. Atau, ibarat kunci dan lubang kuncinya. Kedua benda ini harus memiliki alur yang sama agar bisa pas mengunci atau membuka kunci.

Lalu, bagaimana? Tentu saja kita harus memilih. Hidup ini murni pilihan. Memilih apa yang harus kita pilih. Begitu juga dengan pasangan kita. Kitalah yang memilih siapa yang akan bersama kita kelak. Kitalah yang menentukan kriteria pasangan yang kita inginkan. Apakah kamu mau memilih pasangan yang jelas-jelas tidak mau berkontribusi dalam hubungan kalian? Be smart, be wise. Saya belum menemukan istilah untuk pria kepada wanita. Tapi, bagi wanita, silakan dicatat: A boy will offer you pleasure. A man will offer you future. “Bukannya jodoh ada di tangan Tuhan ya?” Benar. Dan tugas kitalah untuk menjemputnya. Untuk mulai mengenali pasangan yang kita inginkan lalu mensinkronisasikan dengan jatah rizki yang ditentukan oleh Tuhan. Tugas kitalah untuk memantaskan diri menjadi pasangan terbaik dari mereka yang juga memantaskan diri untuk kita. Seburuk apapun takdir kita, saat kita berusaha keras dan cerdas memantaskan diri untuk mendapatkan rizki yang lebih baik tentu saja Tuhan akan mempersiapkan yang terbaik  untuk kita. Bukankah Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai kaum itu sendiri yang berinisiatif dan berusaha mengubahnya? Bagi yang berperan menjadi pemuda/pemudi dalam cerita di atas saat ini, lepaskanlah. Lepaskan dan terimalah keadaan itu. Keadaan dimana Tuhan dengan anggunnya menegur agar kita lebih menyayangi diri sendiri terlebih dahulu, orangtua, dan orang-orang terkasih di sekitar kita. Sadari bila saat ini Tuhan sedang menaikkan level kita untuk bertemu dengan pasangan yang jauh lebih baik nilainya. “Tapi, gak ada yang sebaik dia….” STOP! Buka mata!!! Camkan ini: kita gak akan bisa melihat pintu-pintu kebahagiaan yang disiapkan Tuhan saat kita memilih untuk menutup mata. So, perlahan buka mata dan kenali banyak kebahagiaan baru di sekitar kalian. Gimana? Sudahkah kalian memantaskan diri untuk bersanding dengan pasangan terbaik pilihan Tuhan? Regards,

Ledakan Revolusi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline