Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Putri

Berproses, Berjuang dan Belajar

Remo Jombang

Diperbarui: 4 April 2017   16:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kebudayaan adalah aspek yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Kebudayaan terbentuk dari keragaman suku di Indonesia. Kebudayaan banyak dipengaruhi oleh adat, kebiasaan, sejarah masa lalu dari proses berfikir masyarakat. Indonesia adalah Negara yang memiliki banyak budaya. Bagian dari kebudayaan itu sendiri sangat kental dengan unsur kedaerahan, ini membuat keanekaragamnya kesenian memiliki ciri khas masing-masing daerah. Kesenian menjadi identitas dan kebanggaan daerah tertentu karena dianggap memiliki nilai-nilai kehidupan yang merupakan cerminan pandangan hidup daerah sebagai hasil peradaban. Oleh sebab itu, daerah-daerah memiliki keunikan budayanya sendiri-sendiri, ini merupakan tonggak awal kebudayaan Nusantara.

Kesenian sebagai ungkapan keindahan yang merupakan satu kebutuhan manusia yang universal. Bukan milik kalangan atas atau kaya saja, tetapi juga orang yang hidup dalam keterbatasan.

Kesenian dapat dipilih dalam berbagai cabang seni. Untuk Jawa cabang-cabang seni yang dapat diperoleh datanya adalah seni rupa (termasuk arsitektur), kesusastraan, tari, teater, dan dalam batas tertentu musik. Kesenian pada masyarakat Jawa Timur merupakan satu kesatuan dari hal-hal yang disukai oleh masyarakatnya.

Edi Sedyawati mendefinisikan tari sebagai bentuk upaya untuk mewujudkan keindahan melalui susunan gerak dan irama yang dibentuk dalam satuan komposisi gerak yang diwujudkan dalam bentuk beraturan yang sengaja diciptakan untuk mencapai kesan tertentu (Sedyawati. 1981). Kesenian paling tidak dapat menghasilkan suatu hasil kesenian yang memiliki unsur kreativitas dan keindahan, sehingga hasil tersebut mempunyai nilai khas dan daya tarik yang kuat.

Dengan fungsi seperti itu, kesenian menjadi tumpuan kebudayaan Jawa Timur. Salah satunya adalah Tari Remo. Seni tari Remo merupakan salah satu hal yang ternilai harganya oleh apapun yang dimiliki oleh masyarakat karena salah satu ciri khas yang masih asli dari daerah tersebut. Namun belum banyak masyarakat yang sadar akan pentingnya tari Remo.

Tari Remo berasal dari Jombang, Jawa Timur. Tarian ini berasal dari kecamatan Diwek desa Ceweng, tarian ini diciptakan oleh warga yang berprofesi sebagai pengamen tari waktu itu. Tarian ini awanya digunakan sebagai pembuka pertunjukkan ludruk, namun pada perkembangannya tarian ini ditarikan secara terpisah digunakan sebagai sambutan tamu kenegaraan maupun festival kesenian daerah.

Tari Remo merupakan gambaran tarian yang mengkisahkan perjuangan seorang pangeran yang berjuang di medan pertempuran. Akan tetapi dalam perkembangannya tarian ini menjadi lebih sering ditarikan oleh perempuan, sehingga muncul gaya tarian yang lain, Remo Putri atau Tari Remo gaya perempuan. Karena kekhasan tari Remo itulah, saya mencoba mengamati bagaimana kesenian ini sebenarnya.

1.2RUMUSAN MASALAH

1.Apa yang dimaksud tari Remo?

2.Apa unsur-unsur kebudayaan tari Remo?

3.Bagaimana melestarikan tari Remo?

1.3TUJUAN PENELITIAN

1.Mengetahui dan mengenal kebudayaan kesenian tari Remo.

2.Mengetahui unsure-unsur pendukung tari Remo.

3.Mengetahui cara melestarikan tari Remo

1.4BATASAN MASALAH

Pada pengamatan penulis membatasi permasalahan yang terjadi di Desa Kedunglosari Tembelang Jombang

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Definisi Kebudayaan

Dalam ilmu antropologi, yang telah menjadikan berbagai carahidup manusia dengan berbagai macam sistem tindakan tadi sebagai objek penelitian dan analisisnya, aspek belajar itu merupakan aspek yang sangat penting. Itulah sebabnya dalam hal memberi pembatasan terhadap konsep “kebudayaan” atau culture itu, artinya dalam hal ini memberi definisi terhadap konsep “kebudayaan”, ilmu antropologi seringkali sangat berbeda dengan berbagai ilmu lain. Juga apabila dibandingkan dengan arti yang biasanya diberikan pada konsep itu dalam bahasa sehari-hari, yaitu arti yang terbatas kepada hal-hal yang indah seperti candi, tari-tarian, seni rupa, seni suara, kesusastraan dan filsafat., definisi ilmu antropologi lebih luas sifat dan ruang lingkupnya. Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah : keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat).

Kata “Kebudayaan” dan “Culture”. Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanksekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan : “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, yang berarti “daya dari budi”. Karena itu mereka membedakan “budaya” dari “kebudayaan”. Demikianlah “budaya” adalah “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa., sedangkan “kebudayaan” adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu. Dalam istilah “antropologi-budaya” perbedaan itu ditiadakan. Kata “budaya” di sini hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari “kebudayaan” dengan arti yang sama.

Adapun kata culture, yang merupakan kata asing yang sama artinya dengan “kebudayan” berasal dari kata latin colere yang berarti “mengolah, mengerjakan,” terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam.”

Adapun beberapa pendapat ahli mengenai definisi Kebudayaan, antara lain:

Ki Hajar Dewantara

Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yaitu alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan da kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi

Kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski

Mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.

Herskovits

Kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.

Edward Burnett Tylor

Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Andreas Eppink

Kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual, dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

2.2Tiga Wujud Kebudayaan

Menurut J.J. Honigmann (dalam Koentjaraningrat: 1990) menjelaskan bahwa kebudayaan itu ada tiga wujudnya, yaitu:

1.Ideas, Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2.Activities, Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

3.Artifacts, Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

2.3Unsur-unsur Kebudayaan

Unsur-unsur kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bagian suatu kebudayaan yang dapat digunakan sebagai satuan analisis tertentu. Menurut C. Kluckhohn mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan secara universal (universal categories of culture), antara lain:

1.Bahasa

Merupakan produk dari manusia sebagai homo loguens. Bahasa manusia pada mulanya diwujudkan dalam bentuk tanda (kode), yang kemudian disempurnakan dalam bentuk bahasa lisan, dan akhirya menjadi bahasa tulisan. Semuanya merupakan simbol, sehingga Ernest Casirier menyebut manusia sebagai animal symbolic. Bahasa-bahasa yang telah maju memiliki kekayaan kata (causa kata) yang besar jumlahnya sehingga makin komunikatif.

2.Sistem Pengetahuan

Merupakan produk dari manusia sebagai homo sapiens. Pengetahuan dapat diperoleh dari pmikiran sendiri, di samping itu dapat juga dari pemikiran orang lain. Kemampuan manusia untuk mengingat apa yang telah diketahui, kemudian menyampaikannya kepada orang lain melalui bahasa menyebabkan pengetahuan menyebar luas. Terlebih apabila pengetahuan itu dapat dibukukan , maka penyebarannya dapat dilakukan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

3.Organisasi Sosial

Merupakan produk dari manusia sebagai homo socius. Manusia sadar bahwa tubuhnya lemah. Namun, dengan akalnya manusia membentuk kekuatan dengan cara menyusun orgamisasi kemasyarakatan yang merupakan tempat bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, yaitu meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Dalam masyarakat tradisional, sistem gotong royong seperti yang terdapat di Indonesia merupakan contoh yang khas. Sedangkan dalam masyarakat modern pengaturannya sudah dalam tingkat negara bahkan antar bangsa.

4.Sistem peralatan hidup dan teknologi

Merupakan produksi dari manusia sebagai homo faber. Bersumber dari peikirannya yang cerdas serta dibantu dengan tangannya yang dapat memegang sesuatu dengan erat, manusia dapat menciptakan sekaligus mempergunakan suatu alat. Dengan alat-alat ciptaannya itu, manusia dapat lebih mampu mencukupi kebutuhannya dari pada binatang.

5.Sistem mata pencarian hidup

Merupakan produk dari manusia sebagai homo economicus menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus meningkat. Dalam tingkat sebagi food gathering, kehidupan manusia memang sama dengan binatang. Tetapi dalam tingkat food producing terjadi kemajuan yang pesat. Setelah bercocok tanam, kemudian berternak, lalu mengusahakan kerajinan, berdagang, manusia makin dapat mencukupi kebutuhannnya yang terus meningkat (rising demands) yang kadang-kadang cenderung serakah.

6.Sistem Religi

Merupakan produk manusia sebagai homo religius. Manusia memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur, tanggap bahwa di atas kekuatan dirinya terdapat kekuatan lain yang Mahabesar (supranatural) yang dapat “menghitam-putihkan” kehidupannya.

7.Kesenian

Merupakan hasil dari manusia sebagai homo asteticus. Setelah manusia dapat mencukupi kebutuhan fisiknya, maka manusia perlu dan selalu mencari pemuas untuk memenuhi kebutuhan psikisnya. Manusia semata-mata tidak hanya memenuhi kebutuhan isi perut saja, tetapi mereka perlu juga pandangan mata yang indah serta suara yang merdu. Semuanya itu dapat dipenuhi melalui kesenian. Kesenian ditempatkan sebagai unsur terakhir karena enam kebutuhan sebelumnya, pada umumnya harus dipenuhi terlebi dahulu.

2.4 Fungsi Unsur-unsur Kebudayaan

Adapun istilah “fungsi” menurut sarjana Antropologi. M.E. Spiro (Antropologi:1990), pernah mmendapatkan bahwa dalam karangan ilmiah ada tiga cara pemakaian kata fungsi. yaitu:

1.Pemakaian yang menerangkan fungsi itu sebagai hubungan guna antara sesuatu hal dengan sesuatu tujuan yang tertentu (misalnya mobil mempunyai fungsi sebagai alat untuk mentranspor manusia atau barang dari satu tempat ke tempat yang lain),

2.Pemakaian yang menerangkan kaitan korelasi antara satu hal dengan hal yang lain (kalau nilai dari satu hal x itu berubah, maka nilai dari suatu hal yang ditentukan oleh x tadi, juga berubah),

3.Pemakaian yang menerangkan hubungan yang terjadi antara satu hal dengan hal-hal lain dalam suatu sistem terintegrasi (suatu bagian dari suatu organism yang berubah, menyebabkan perubahan dari berbagai bagian lain, malahan sering menyebabkan perubahan dalam seluruh organisma).

2.5 Kerangka Teori Tindakan

Kelompok studi yang terdiri dari sarjana ilmu-ilmu sosial dari Universitas Harvard yang diketuai ahli sosiologi Talcott Parsons. Kelompok itu terdiri dari ahli-ahli sosiologi seperti Talcott Parsons sendiri, E. Shils, dan R. Merton, ahli antropologi seperti C.Kluckhohn, ahli psikologi seperti H.A. Murray, tetapi juga ahli-ahli biologi, dan lain-lain. Kerangka yang mereka susun bersama, memandang kebudayaan sebagai tindakan manusia yang berpola, dan mereka sebut Kerangka Teori Tindakan (Frame of Reference of the Theory of Action). Yang meliputi (Antropologi:1990):

1.Sistem Budaya

Cultural System merupakan komponen yang abstark dari kebudayaan, dan terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, konsep-konsep, tema-tema berpikir dan keyakinnan. Sistem budaya dalam bahasa Indonesia lebih sering disebut dengan Adat Istiadat.

2.Sistem Sosial

Social System terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia atau tindakan-tindakan dan tingkah laku berinteraksi antara individu dalam rangka kehidupan masyarakat.

3.Sistem Kepribadian

Personality System mengenai soal isi jiwa dan watak individu yang berinterkasi sebagai warga masyarakat.

4.Sistem Organik

Organic System melengkapi seluruh kerangka dengan mengikutsertakan kedalamnya proses biologik serta biokimia dalam organisma manusia sebagai suatu jenis makhluk alamiah yang apabila dipikirkan lebih mendalam,juga ikut menentukan kepribadian individu, pola-pola tindakan manusia, dan bahkan juga gagasan-gagasan yang di cetuskannya.

2.6 Kesenian sebagai Sistem

Terlebih dahulu ditegaskan kalau Estetika, yang dengan ungkapan lain dapat dikatakan “teori kesenian”, “filsafat seni” atau teori keindahan, adalah bagian saja. Kajian tentang sistem kesenian, baik sebagai pranata tersendiri maupun sebagai sistem pendukung dalam pranata lain, memerlukan dukungan ilmu antropologi. Apabila sistem kesenian identik dengan pranata kesenian, komponen-komponen pembentuknya antara lain:

1.Perangkat nilai-nilai dan konsep-konsep yang merupakan pengarah bagi keseluruhan kegiatan berkesenian (baik dalam membuat maupun menikmatinya).

2.Para pelaku dalam urusan kesenian, mulai dari seniman perancang, seniman penyaji, pengayom (dalam arti luas termasuk produser) dan penikmat.

3.Tindakan-tindakan terpola dan terstruktur dalam kaitan dengan seni, seperti kebiasaan berlatih, berkarya, membahas karya seni. publikasi karya seni beserta segala persiapannya, dan lain-lain.

4.Benda-benda yang terkait dengan dengan proses berkesenian, baik yang digunakan sebagai alat maupun dihasilkan sebagi bagian dari karya seni.

2.7Pengertian Umum Tari

Tari merupakan gerakan badan secara berirama yang dilakukan di waktu dan tempat tertentu dengan maksud, pikiran, perasaan tertentu. Tari biasanya diiringi music untuk mengatur gerakan penari dan memperkuat makna yang ingin disampaikan.

.



BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Tujuan Kajian Tari

Mengkaji tari, dalam arti mempelajari tari dalam arti umum yang seluas-luasnya, dapat mempunyai dua tujuan:

1.Tujuan Pertama, adalah untuk mengenal dan memahami tari sedemikian rupa sehingga seseorang dapat menghayati suatu tarian ataupun suatu gaya tari dengan sebaik-baiknya. Penguasaan teknik yang benar disertai pemahaman akan nilai-nilai keindahan serta makna-makna simbolik yang mungkin terkandung dalam tari akan dapat meningkatkan menghayatan tari pada si seniman, maupun penikmatan tari pada apresiatornya. Pemahaman akan tari beserta konteks sosial dan budayanya juga amat berfaedah bagi seorang penata tari. Dengan demikian, karya tarinya akan dapat lebih mempuyai kedalaman, di samping kebagusan komposisi geraknya. Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan pertama ini adalah untuk meningkatkan mutu dan keluasan bekal kesenimanan.

2.Tujuan Kedua, adalah mempelajari tari untuk mendapatkan apa yang disebut sebagai kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah ini harus dicapai melalui serangkaian upaya yang memenuhi standar keilmiahan, yaitu, upaya itu harus terbuka untuk pengkajian ulang oleh ilmuwan mana pun, dan semua langkah penelitian dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Itu berarti semua konsep dan teori yang digunakan harus diberi batasan yang jelas, dan penelitian dilaksanakan mengikuti metode penelitian yang jelas dan dipertanggungjawabkan pula. Pencarian kebenaran ilmiah dengan tari sebagai subjek kajian itu pada gilirannya dapat mempunyai peluang untuk menyumbangkan sesuatu bagi perkembangan ilmu secara umum.

Kedua tujuan pengkajian yang berbeda itu tentulah memerlukan perbedaan kesiapan dan penyikapan. Tujuan pertama memungkinkan (dan bahkan sebaliknya) disikapi secara subjektif apabila dimaksudkan untuk mengembangkan kesenimanan, sedangkan tujuan kedua mengharuskan adanya sikap objektif dan landasan ilmiah yang kuat. Masing-masing memerlukan pelatihan yang berbeda pula.

Di luar kedua tujuan yang sangat jelas bedanya itu, yaitu yang satu dalam rangka mengembangkan kesenian dan yang lain dalam rangka mengembangkan ilmu, terdapat sebuah tujuan lain lagi.

3.Tujuan penulisan Kritik Tari. Seorang penulis kritik tari harus mempunyai kepekaan seni yang cukup baik, tetapi juga daya analisis yang kuat. Dengan bekal ilmu dan kepekaan itulah ia akan dapat membuat evaluasi. Dengan demikian, ia akan dapat menjadi semacam juru tafsir yang berada di antara seniman dan khayalan awam.

3.2JenisKajian Ilmiah Tari

Dilihat dari objek kajiannya, penelitian tari dapat digolongkan menjadi tiga sebagai berikut:

1.Kajian atas substansi tari itu sendiri, yaitu gerak sebagai intinya, disertai faktor-faktor penunjangnya, yaitu bunyi dan rupa. Dasar-dasar dari kajian jenis ini dapat dikatakan merupakan inti kajian tari pada umumnya, meski tidak dalam ketuntasan analisis teknisnya. Analisis gerak tari itu sendiri dapat dilaksanakan dengan bantuan metode dan teknik notasi tari seperti yang telah dikembangkan oleh Rudolf von Laban dan Rudolf Benesh. Suatu gaya tari dapat pula dianalisis atas dasar strukturnya, dari bagiannya yang terkecil hingga ke susunan-susunan yang lebih besar secara berjenjang. Studi seperti yang disebutkan ini dilakukan oleh Adrienne Kaeppler atas gaya tari Tonga.

2.Kajian diatas tari dilihat dari segi konteksnya. Kajian jenis ini bersifat sinkronis, yaitu melihat tari dan segala faktor kehidupan yang melingkupinya sebagai sesuatu yang terintegrasi. Tari dilihat sebagai suatu fungsi di dalam masyarakat. Ia terikat dengan pelaku-pelaku dan berbagai kepentingannya. Dalam kaitan ini dapat dilakukan analisis struktur, fungsi, dan sistem dalam masyarakat di mana tari ada dan berperan.

3.Kajian tari secara diakronis, yaitu yang dilihat adalah perkembangan-perkembangan, baik dilihat dari aspek bentuk maupun fungsinya.

Dalam melakukan jenis-jenis kajian tesebut seorang peneliti pada dasarnya harus melandaskan kerjanya atas suatu disiplin ilmu (mono- ataupun inter-disiplin) yang jelas. Untuk jenis kajian pertama, yang membahas sosok tari itu sendiri tanpa keterkaitan dengan unsur-unsur di luarnya, dapat diambil di satu sisi ilmu Kinesiologi dan di sisi lain ilmu Estetika atau Filsafat Seni sebagai landasannya. Untuk jenis kajian kedua, dapat diambil berbagai ilmu di dalam rumpun Ilmu-Ilmu Sosial, seperti Antropologi, Sosiologi, Ilmu Pendidikan, Psikologi dan Ilmu Komunikasi. Adapun untuk kajian jenis ketiga, ilmu landasannya adalah Ilmu Sejarah, dengan Arkeologi sebagai kemungkinan pula apabila data utama yang dikaji adalah tinggalan-tinggalan kebendaan dari masa lampau.

3.3Estetika Tari

Estetika adalah suatu pembahasan atas seni dengan menggunakan atau memaparkan suatu teori seni. Suatu teori seni dikatakan “digunakan” apabila teori itu merupakan konstruksi yang dibuat oleh ilmuwan atau pengulas untuk “mengupas” dan “menjelaskan” karya-karya seni. Sebaliknya, suatu teori seni dikatakan “dipaparkan” apabila teori itu merupakan konstruksi dari dalam kebudayaan yang menghasilkan karya-karya seni yang dibahas. Dengan demikian, Teori seni itu harus dipahami lebih dahulu seperti halnya pemilik kebudayaan yang bersangkutan memahaminya.

Estetika Tari dapat secara khusus hanya berkenaan dengan tari, namun lebih sering dalam banyak kebudayaan estetika tari itu tidak dapat dipisahkan dari teori seni secara umum, yang merupakan acuan yang dikenal luas dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal yang demikian, tari tak dapat dipahami dengan tepat apabila tidak dipahami juga prinsip-prinsip estetika yang mendasari musiknya, tata rupanya, bahkan juga prinsip-prinsip etika yang berlaku dalam masyarakat.

Suatu kajian Estetika Tari dengan demikian adalah pengumpulan informasi yang dapat disusun menjadi pemaparan mengenai teori keindahan yang dijadikan arahan bagi ekspresi tari dalam suatu masyarakat tertentu. Metode pengumpulan informasi itulah harus ilmiah, dengan menggunakan teknik-teknik penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. Metode dan teknik itu harus sedemikian bersih sehingga dapat mengesampingkan kemungkinan bias yang datang dari subjektivitas peneliti.

Gaya tari, baik yang terkait dengan budaya maupun dengan aliran, adalah satuan analisis yang tepat bagi kajian Estetika Tari. Suatu gaya tari mempunyai kekhasan-kekhasan yang hanya dapat dijelaskan kebermaknaannya melalui teori tari yang mendasarinya. Pencapaian keindahan melalui kaidah yang sejalan dengan teori tari itu memerlukan penguasaan teknik tari yang baik dan tepat. Dengan kata lain, teknik adalah landasan fisik-material bagi tercapainya nilai keindahan dalam suatu tari.

Pengetahuan akan Estetika Tari memungkinkan orang untuk membuat ulasan mengenai suatu karya tari. Bagi seniman sendiri, khususnya penari, pengetahuan Estetika Tari akan dapat memandunya dalam melakukan interpretasi atas suatu karya tari yang harus dibawakannya. Dalam ranah kerja penciptaan tari Estetika Tari justru dapat dikembangkan, dan ini pun dapat menjadi objek pengamatan bagi seorang peneliti.

3.4Antropologi Tari

Kajian antropologi tari berlandaskan metodologi dan teori-teori antropologi yang diterapkan untuk meneliti tari sebagai objek penelitian. Dalam hal ini tari dilihat sebagai sebuah unsur di dalam suatu kebudayaan yang utuh. Dalam tulisan-tulisan berbahasa Inggris bidang ilmu ini disebut Ethnochoreology atau Anthropology of Dance. Arah penelitian dalam bidang ini bisa bermacam-macam, yang secara garis besar dapat di bagi dua, yaitu:

1.Penelitian yang bersifat Etnografis, artinya mendeskripsikan keseluruhan kebudayaan dengan secara khusus menyorot posis tari di dalamnya. Dapat pula kajian itu difokuskan pada salah satu sendi saja dalam jaringan sosial-budaya, misalnya pada fungsi, pada nilai-nilai budaya, pada struktur, pada proses dan sebagainya.

2.Penelitian yang bersifat komparatif. Dalam hal ini yang diperbandingkan bisa tari pada berbagai kelompok sosial di dalam satu kesatuan budaya, bisa pula berupa perbandingan tari antara satu kebudayaan dan kebudayaan yang lain, serta dapat pula berupa perbandingan lintas budaya (cross cultural) yang melibatkan tari dalam banyak kebudayaan. Dalam satu kajian lintas budaya peneliti terlebih dahulu harus menyiapkan struktur data yang kokoh sebagai sarana untuk memperbandingkan. Contoh untuk kajian jenis ini adalah Choreometrics.

3.5 Sosiologi Tari

Dalam sosiologi tari yang dilihat adalah tari sebagai suatu sarana sosial, baik untuk interaksi, integrasi, maupun segregasi. Tari dilihat lebih sebagai sarana sosial daripada sebagai penanda ataupun unsure kebudayaan. Golongan-golongan sosial, berikut status dan peranannya, diberi fokus dalam pengkaitannya atau kepentingannya dengan tari.

Sosiologi tari dapat dengan tepat digunakan untuk mengkaji tari dalam suatu lingkungan sosial yang majemuk, seperti misalnya di kota-kota besar. Peranan orang-orang dalam status-status tertentu, baik pada sisi pelaku seni maupun pada sisi pengayom seni, diperhatikan dan dianalisis dalam rangka menggambarkan besar-kecilnya pengaruhnya terhadap kegiatan dan perkembangan tari. Sebaliknya, kegiatan tari pun dapat dilihat sebagai sarana pembentuk atau peneguh status sosial tertentu.

Bidang-bidang ilmu lain pun, dalam kelompok Ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu komunikasi, ilmu pendidikan, dan Psikologi dapat dijadikan titik tolak kedisiplinan untuk melakukan kajian tari. Sudah tentu pokok permasalahannya pun harus sesuai untuk disiplin yang bersangkutan. Berkaitan dengan ilmu pendidikan, pada titik ini kiranya perlu diperhatikan perbedaan antara Pendidikan Tari dan Tari Pendidikan. Pendidikan Tari adalah bagaimana mengajarkan tari, sedangkan Tari Pendidikan adalah bagaimana melaksanakan pendidikan, khususnya pendidikan mengolah kepekaan seni, dengan tari sebagai instrumennya.

3.6Sejarah Tari

Kajian Sejarah Tari harus didasari oleh kemampuan dasar dalam metode penelitian sejarah. Kemahiran untuk menelusur sumber serta melakukan kritik sumber perlu dimiliki oleh peneliti. Itu berarti seorang peneliti Sejarah Tari harus punya kesiapan untuk melacak sumber data pada himpunan arsip-arsip, seperti yang terdapat di Arsip Nasional, Arsip Daerah, maupun arsip-arsip pribadi yang relevan. Demikian juga surat-surat ataupun keputusan-keputusan rapat pada lembaga-lembaga yang berurusan dengan kehidupan tari dapat digunakan sebagai sumber informasi, sepanjang yang relevan dengan pokok bahasan penelitian. Selain itu saksi-saksi sejarah dalam perkembangan tari dapat pula dijadikan narasumber dan dapat diwawancara. Kajian Sejarah Tari juga dapat menggunakan data kuno yang berupa benda-benda tinggalan masa lalu seperti relief pada candi-candi.

Perkembangan dalam kurun waktu yang relative singkat dapat pula dilakukan, misalnya yang terjadi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Untuk periode yang terkait dengan masa kini, penelitian jenis ini dapat banyak di bantu oleh informasi dari para perilaku.

3.7Kajian Kuantitatif dan Kualitatif

Kajian terhadap tari dapat dilakukan dengan pendekatan apapun, kuantitatif ataupun kualitatif . Pada umumnya yang lebih banyak digunakan untuk kajian tari adalah pendekatan kualitatif, justru karena sifat tari sebagai bentuk seni, dan demikian banyak terkait dengan makna simbolik. Namun, bukannya tidak mungkin pula seorang peneliti mengkaji tari dengan pendekatan Kuantitatif, misalnya jika melibatkan eksperimen kelas dalam rangka kajian Tari Pendidikan (Educational Dance). Kajian Choreometrics pun pada dasarnya menerapkan prinsip-prinsip penelitian kuantitatif.

Dalam hal ini menentukan pilihan anatara kuantitatif dan kualitatif itu setiap peneliti perlu lebih dahulu dibekali dengan pengetahuan akan ciri-ciri pokok yang membedakan paradigm dari kedua pendekatan itu. Kemudian perlu diketahui pula teknik-teknik penelitian apa yang sesuai untuk masing-masing pendekatan itu. Salah satu hal yang penting untuk diperlihatkan adalah bahwa kepenarian seorang peneliti dapat digunakan sebagai sarana penelitian. Ini khususnya dalam kajian kualitatif yang termasuk Antropologi Tari, ketika seorang peneliti hendak meraih informasi mengenai di mana batas antara “menari yang benar” dan “menari yang tidak benar” atau antara “menari dengan baik” dan “menari yang tidak baik”. Dalam kajian kuantitatif pengalaman tari seorang peneliti pun dapat amat bermanfaat untuk dapat mengkuantifikasi tarian ke dalam ciri-ciri gerak yang dapat diberi kode-kode atau pengurutan (ranking).



BAB IV

PEMBAHASAN

4.1Sejarah Tari Remo

Tari Remo berasal dari Jombang Jawa Timur, tarian ini diciptakan seorang pengamen. Pada awalnya tarian ini ditampilkan sebagai pengantar pergelaran Ludruk. Tetapi berkembangnya zaman tarian ini ditampilkan untuk acara penyambutan tamu kenegaraan maupun festival daerah. Tarian ini sebenarnya menceritakan perjuangan pangeran dalam medan pertempuran. Akan tetapi perkembagan tarian ini lebih sering ditarikan perempuan, sehingga muncul gaya Tari Remo Gaya Perempuan.

4.2 Unsur-unsur dalam Tari Remo

a.Gerakan Tari Remo

Tari Remo identik dengan gerakan kaki rancak dan dinamis. Pada pergelangan kaki penari terpasang lonceng-lonceng dengan tujuan saat penari melangkah atau menghentakkan kakinya lonceng itu berbunyi. Dan juga penari menggunakan selendang atau sampur, Penari juga menggerakkan badannya dengan menggelengkan kepala, ekspresi raut muka wajah dan kuda-kuda penari membuat lebih atraktifnya tarian tersebut.

b.Busana Tari Remo

Tari Remo mempunyai banyak macam model (gaya), antara lain:

1.Gaya Surabaya

Terdiri dari ikat kepala merah, baju hitam tanpa kancing dengan gaya kerajaan abad 18, celana sebatas betis yang dikait jarum emas, sarung batik pesisiran yang menjuntai hingga lutut, setagen yang diikat di pinggang, dengan keris yang menyelip di belakang. Penari menggunakan dua selendang yang satu dipakai di pinggang dan yang lain disematkan di bahu, dengan masing-masing tangan penari memegang ujung selendangnya. Selain itu, terdapat gelang kaki berupa lonceng-lonceng yang dilingkarkan di pergelangan kaki.

2.Gaya Sawunggaling

Sebenarnya busana yang dipakai sama dengan gaya Surabaya, tetapi pembedanya yaitu pemakaian kaos putih lengan panjang sebagai ganti dari baju hitam kerajaan.

3.Gaya Malangan

Pada dasarnya busana gaya Malangan juga sama dengan busana gaya Surabaya, namun yang membedakan yaitu pada celana yang panjang sampai menyentuh mata kaki dan tidak disemat dengan jarum.

4.Gaya Jombangan

Busana gaya Jombangan pada dasarnya sama dengan gaya Sawunggaling, tetapi perbedaannya terletak pada penari yang tidak menggunakan kaos tetapi menggunakan rompi.

5.Gaya busana Remo Putri

Remo Putri mempunyai busana yang berbeda dengan gaya remo yang asli. Penari memakai sanggul, memakai mekak hitam untuk menutup bagian dada, memakai rapak untuk menutup bagian pinggang sampai ke lutut, serta hanya menggunakan satu selendang saja yang disemat di bahu bahu.

c.Musik

Tari Remo diiringi alat mmusik gamelan, yang umumnya terdiri dari boning barung atau babok, saron, gambang, gender, slentem silter, kethuk, kenong, seruling, kempul dan gong. Irama yang biasanya dimainkan untuk mengiringi Tari Remo adalah Jula-Juli dan Tropongan, tetapi dapat juga gending Walangkekek, Gedok Rancak, Krucilan atau gending-gending aransemen baru. Dalam pertunjukan ludruk biasanya penari tari Remo menyanyikan sebuah lagu di tengah-tengah penampilan tarinya.

4.3 Hasil Pengamatan

Dalam pengamatan ini peneliti mengamati Kesenian Tari Remo yang berlangsung di Dusun Losari Desa Kedunglosari Kecamatan Tembelang Kabupaten Jombang dalam rangka peringatan “Sedekah Desa”. Peneliti mengamati dan sedikit melakukan perbincangan mengenai acara yang digelar oleh Desa secara swadaya. Menurut beberapa masyarakat acara ini dilakukan dalam rangka peringatan sedekah desa dan bentuk syukur atas apa yang di dapat dalam satu tahun yang sudah dijalankan.

Acara yang diadakan Desa ini, menampilkan tari Remo untuk meramaikan acara tersebut. Menurut kepala desa tersebut: menampilkan tari Remo untuk pelestarian kesenian tradisional dan mengenalkan budaya kesenian tari Remo agar tidak punah. Tari Remo yang ditampilkan dalam acara ini berjumlah dua orang perempuan berusia 10-13 tahun, anak tersebut belajar tari Remo dari guru tari di sekolah mereka.

Tari Remo memiliki estetika dan makna simbolis dalam gerakannya, namun masyarakat tidak banyak tahu Karena mereka bukan pakar ahli kebudayaan kesenian tari. Meskipun begitu masyarakat antusias untuk melihat tarian tradisional ini. Mereka tidak menyadari kebudayaan mereka.



Analisis

·Busana Penari menggunakan gaya Jombangan yaitu kostum yang pada dasarnya sama dengan gaya sawunggaling atau Surabaya yang meliputi Terdiri dari ikat kepala merah, baju hitam tanpa kancing dengan gaya kerajaan abad 18, celana sebatas betis yang dikait jarum emas, sarung batik pesisiran yang menjuntai hingga lutut, setagen yang diikat di pinggang, dengan keris yang menyelip di belakang. Penari menggunakan dua selendang yang satu dipakai di pinggang dan yang lain disematkan di bahu, dengan masing-masing tangan penari memegang ujung selendangnya. Selain itu, terdapat gelang kaki berupa lonceng-lonceng yang dilingkarkan di pergelangan kaki. Namun yang membedakan tidak menggunakan kaos tetapi menggunakan rompi.

·Musik yang dipakai untuk mengiringi Tari Remo berasal dari alat music gamelan yang dalam satu gending terdiri dari babok, saron, gambang, gender, slentem silter, kethuk, kenong, seruling, kempul, gong dan irama slendro.

·Gerakan: Gerakan kaki yang rancak dan dinamis, gerakan didukung adanya lonceng-lonceng yang dipakaikan di pergelangan kaki. Lonceng akan berbunyi saat penari melangkah atau menghentak di panggung. Dan juga hal yang lain yaitu gerakan selendang atau sampur, gerakan kepala, anggukan, ekspresi wajah dan kuda-kuda penari yang membuat tarian semakin menarik.



·

BAB V

PENUTUP

5.1Kesimpulan

Kebudayaan merupakan semua hal meliputi ide, perilaku dan hasil pemikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari yang sengaja maupun tidak sengaja, kebudayaan adalah hal yang menarik karena mencakup banyak budaya karena banyaknya suku dan keadaan geografis bangsa indonesia membuat keanekaragaman budaya terjadi di Indonesia.

Menurut J.J. Honigmann (dalam Koentjaraningrat: 1990) menjelaskan bahwa kebudayaan itu ada tiga wujudnya antar lain ide merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.Aktivitas wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.Artefak merupakan wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Estetika adalah suatu penjelasan atas seni dengan memakai atau memaparkan suatu teori seni. Suatu teori seni dikatakan “digunakan” apabila teori itu merupakan konstruksi yang dibuat oleh ilmuwan atau pengulas untuk “mengupas” dan “menjelaskan” karya-karya seni.

Nilai-nilai budaya meskipun berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat , tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang luas dan biasanya tidak mudah diterangkan secara rasional dan nyata.

5.2Saran

Sebagai generasi muda kita hari harus menjaga tradisi kebudayaan negara Indonesia agar tidak diklaim lagi oleh bangsa lain, dengan cara mencintai dan mau belajar kebudayaan sendiri, kenali budaya bangsa kita dari sekarang. Jangan sampai budaya kita punah. Mulai dari sekarang belajar dan terus belajar mencintai kebudayaan negera sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1990. PENGANTAR ILMU ANTROPOLOGI. Jakarta: Rineka Cipta.

Widyosiswoyo, Supartono. 2004. ILMU BUDAYA DASAR (edisi revisi 2004). Bogor: Ghalia Indonesia.

DINAMIKA MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN KOMNTEMPORER. 2009. Yogyakarta: TICI Publications.

Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline