Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim, pandemi Corona yang melanda Indonesia dalam beberapa minggu ini membuat kita harus tetap waspada. Selain agar tetap menjaga jarak, kebersihan diri dan lingkungan, spiritualitas juga musti diperhatikan.
Bagi Muslim awam yang hidup di desa, dengan tingkat kesadaran dan literasi rendah, Covid-19 yang membunuh ribuan nyawa di seluruh dunia itu tetap saja masih dianggap remeh. Bagaimana tidak, himbauan pemerintah agar masyarakat mengurangi aktivitas di luar rumah masih saja diindahkan.
Namun pada hari ini, saya dan masyarakat awam lainnya mulai memahami tentang bahaya laten pandemi Covid-19. Itu karena di setiap pagi, di masjid-masjid, para kiyai di kampung, selalu mengimbau agar kami mengurangi aktivitas di luar rumah dan tetap waspada terhadap pandemi berbahaya ini.
Bahkan kami makin waspada ketika ibadah di masjid mulai dikurangi; shalat jum'at ditiadakan dan aktivitas ekonomi di pasar swalayan mulai tutup. Tidak ada yang tahu, sampai kapan situasi ini akan berakhir.
Kami bahkan makin takut ketika mendengar ceramah Ustadz Abdul Somad yang mengatakan wabah Corona adalah tentara-tentara Allah. Mendengar itu saja, di benak kami seolah sejarah umat manusia akan segera berakhir.
Seandainya, UAS mengajarkan kami, masyarakat awam ini bagaimana cara agama merespon wabah dan menyadarkan kami akan kebersihan diri dan lingkungan. Bukan malah menakut-nakuti.
Pernyataan Ustadz kondang itu seolah menegaskan bahwa Corona merupaan tentara yang diutus Tuhan untuk menghukum mereka yang durhaka, menentang ajaran-Nya. Mungkin dia lupa kalau Tuhan memiliki sifat rahman, sifat kasih sayang untuk umat manusia, bukan untuk Islam saja.
Seharusnya, UAS melihat masalah Covid-19 dari dua sisi, yaitu agama dan ilmu pengetahuan. Bagimana relasi agama dan sains serta bagaimana dogma agama berbicara tentang wabah, serta bagaimana upaya pencegahannya.
Mari kita telisik sepenggal sejarah, bagaimana sebenarnya agama dan sains itu tak terpisahkan. Pada masa khalifah Umar bin Khattab, wabah Thaun Amawas menyerang wilayah Syam, wilayah yang sekarang meliputi Suriah, Palestina, Yordania dan Libanon. Akibat wabah tersebut, bahkan seorang sahabat yang dijuluki sebagai Amiin Hadzihil Ummah, Abu Ubaidah Bin Jarrah bersama ribuat lainnya meninggal akibat wabah.
Ketika, khalifah Umar Bin Khattab mengirim sepucuk surat kepada Abu Ubaidah agar segera kembali ke pusat kota Madinah, mengantisipasi supaya sahabatnya itu tidak terdampak wabah. Abu Ubaidah menolaknya, sebab ia memahami konsep agama, dimana bila wabah menyerang, maka wilayah yang terkena wabah harus diisolasi, bahasa kerennya adalah lockdown.
Apa yang terjadi jika Ubaidah saat itu menentang aturan dogma dalam mengatasi wabah? Bisa saja wabah itu menyerang seantero wilayah kekuasaan Islam termasuk pusat pemerintahan di Madinah.