George Orwell mengatakan "In time of universal deceit, telling the truth will be a revolutionary act", bahwa di zaman penipuan universal, mengatakan sebuah kebenaran akan menjadi tindakan revolusioner. Ungkapan ini terasa benar, post-truth (pasca-kebenaran) yang sedang menjangkiti manusia post-modern, hidup dalam bayang yang dianggap benar namun sebanarnya itu adalah sebuah kebohongan.
Produk baru yang lahir dari rahim post-modern saat ini yaitu post-truth society atau masyarakat pasca-kebenaran. Post-truth bukanlah gejala positif dari modernisme, melainkan sebuah fenomena accindental, wabah sosial yang telah menjangkiti semua elemen masyarakat.
Wabah sosial ini, sebelumnya tak pernah terdeteksi oleh para teoretikus. Sebaliknya, post-modern didesain untuk menatap masa depan baik bagi umat manusia; keadilan, kesejahteraan, kemajuan dan gairah hermoni masyarakat.
Sosiolog klasik, Auguste Comte sebelumnya, telah meramalkan tahap sejarah intelektual umat manusia yang kemudian dikenal dengan hukum tiga tahap, tahap ke-tiga disebut sebagai akhir dari intelektual kehidupan manusia. Intinya, sejarah manusia secara evolutif akan melalui tiga tahap yaitu teologis, metafisik dan positivistik.
Menurutnya, masa teologis dan metafisik adalah periode di mana nuansa perilaku dan pemikiran manusia masih terikat dengan norma, sistem kepercayaan, cara pandang masyarakat yang terbatas.
Sementara tahap ketiga yaitu positivistik, ditandai dengan perubahan total pada semua aspek kehidupan masyarakat, terjadi dinamisasi pola berfikir yang maju dan progresif. Cara pandang positivisme ini disinyalir menjadi landasan berfikir rasional, pasti dan terukur.
Hingga hari ini, segala capaian modernisme dalam teknologi nyatanya tak dapat melakukan penyelarasan dalam sosial terutama keadilan dan masalah kemanusiaan.
Jika teknologi berguna mempermudah akses manusia, maka sebaliknya teknologi pun menyimpan daya destruksi. Jadi, modernisme berhasil menciptakan manusia positivistik, namun gagal melahirkan produk yang peka terhadap sosial, yang ada adalah memanfaatkan atau dimanfaatkan, dalam istilah Machiavelli yaitu binatang politik yang haus kekuasaan.
Postmodern ingin bebas dari tuduhan itu. Postmodern menawarkan solusi atas kegagalan modernisme dalam menciptakan keadilan dan prinsip kemanusiaan lainnya.
Prinsipnya, postmodern (postmo) adalah perpaduan antara inovasi dan keramahan lingkungan, teknologi dan kesejahteraan, rasionalitas dan norma.
Akan tetapi, ditengah proses itu, proyeksi ini berjalan di luar dugaan, postmo terjangkit wabah yang menghambat implementasi dari terwujudnya positivisme intelektual manusia. Meski, tanda watak rasional itu dominan, tetapi tidak diikuti kemampuan untuk mendeteksi kebenaran.