Tulisan ini saya awali pada konsepsi bahwa prinsip demokrasi adalah menjamin kebebasan ekspresional bagi setiap warga negara artinya kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi.
Anda dan siapapun itu berhak menyuarakan aspirasi, tentu kebebasan bukan berarti sebebas-bebasnya, musti kerangka kebebasan (berpendapat) itu untuk kemaslahatan bersama, yaitu untuk kemajuan bangsa.
Bicara tentang kemajuan bangsa, barang tentu membutuhkan kerangka wawasan yang luas. Tetapi, dari itu semua, saya yakin kita semua sepakat satu hal yaitu bahwa negara besar membutuhkan pemimpin yang berintegritas dan berwawasan global, memiliki spirit nasionalisme tinggi bahkan memperjuangkan nilai paling tinggi dari nasionalisme itu sendiri, yaitu merdeka seutuhnya, tegak berdiri tanpa intervensi.
Anda bisa bayangkan, apabila pemimpin kita lemah, tak memiliki wawasan bangsa atau bahkan tidak memiliki integritas, dibawa ke mana negara ini? pemimpin itu ibarat nahkoda yang akan membawa kru dan penumpang berlayar mengarungi luasnya samudra dan kerasnya ombak, ia (nahkoda) harus mampu melewati badai, menyelamatkan isi kapal dan berlabuh dengan selamat.
Anda bisa bayangkan bila si nahkoda kapal membawa seisi kapal dalam pusaran badai, tinggi gelombang dan terkepung dalam ketidakpastian. Tentu nahkoda adalah harapan terakhir seisi penumpang untuk menyelamatkan anda dari rintangan itu.
Tapi, bagaimana anda akan memiliki harapan untuk selamat atau menepi dari terjangan ombak sementara nahkoda tidak mengerti kompas dan keberanian.
Ilustrasi ini mungkin adalah gambaran bangsa Indonesia dalam benak saya hari ini. Semakin hari, kapal itu dihempas oleh cengkraman kekuatan asing dan lebih buruk lagi ada kru kapal yang berniat buruk untuk merusak kapal itu agar tenggelam.
Ujan yang sangat besar untuk negara besar. Saya tidak memungkiri, intervensi asing karena dalam konteks negara-bangsa (nation-state) antara satu negara dengan negara lain saling berhubungan.
Saya maksudkan dengan intervensi asing adalan penguasaan berlebihan atas kekayaan negara sehingga rakyat menjadi pembantu di tanah sendiri.
Kita bisa merasakan keadaan itu saat ini dalam taraf global kita tidak lagi dipandang sebagai sebuah negara besar, tak lagi memiliki legitimasi politik dalam percaturan politik global. Tak ubahnya, kita (Indonesia) hanya sebagai penonton di balik layar melihat aktor berlaga di panggung utama, kita tidak lagi berada pada pentas tetapi berada di pojok pertunjukan.
Belum lagi, masalah politik sosial yang menjangkit masyarakat yang kian hari makin parah. Korupsi dan ketimpangan hukum makin marak terjadi, hukum justru makin meruncing bagi pihak yang dianggap oposisi itu.
Nahkoda itu akhirnya telah kehilangan identitas, tak mampu merangkul semua pihak untuk mengarungi samudra dan Jangan sampai nahkoda itu bersama perompak hancur sudah semuanya.