Menjelang hari guru nasional pada 25 November mendatang, para orang tua murid sibuk mempersiapkan hadiah terbaik bagi guru anak-anak mereka.
Saking massifnya gerakan tersebut, diantara mereka ada yang membuat grup WhatsApp untuk saling berkoordinasi perihal hadiah yag akan diberikan kepada guru.
Tindakan ini menjadi sebuah pemandangan yang familiar bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, memberikan hadiah dianggap sebagai bentuk penghormatan dan terima kasih kepada guru yang sudah membimbing, mengajar dan mendidik anak-anak di sekolah.
Namun, pemerintah berkata lain. Perbuatan tersebut masuk dalam kategori gratifikasi, dimana pemberian hadiah kepada guru melanggar undang-undang gratifikasi.
Sebagai informasi, gratifikasi merupakan suatu tindakan pemberian hadiah dan atau sejenisnya dengan maksud memperoleh keuntungan atau kepentingan tertentu.
Walaupun pemberian hadiah kepada guru dipandang sebagai bentuk terima kasih tanpa berharap imbalan apapun, nyatanya perbuatann tersebut masih masuk ke dalam istilah gratifikasi.
Sebab, dengan diberikan hadiah, ada potensi guru berlaku tidak objektif kepada murid-muridnya dalam proses pembelajaran. Misalnya, melayani lebih baik kepada mereka yang memberikan hadiah daripada yang tidak.
Sebenarnya ini kembali lagi dalam konteks di lapangan. Jika guru berstatus ASN, maka tentu ada undang-undang yang menjadi dasar dilarangnya guru tersebut menerima hadiah.
Namun, sebagian pihak swasta juga menerapkan hal yang sama kepada guru mereka. Jika terdapat ada yang memberikan hadiah, wajib dikembalikan.
Gerakan gratifikasi ini dipandang sebagai dua sisi yang berlawanan. Dalam pandangan nurani, apa salahnya memberikan sebuah hadiah kecil untuk guru, sebagai rasa syukur dan cinta atas perhatian yang telah diberikan selama ini.
Disisi yang berbeda, aturan tetaplah aturan yang mesti dipatuhi dan ditaati.