Lihat ke Halaman Asli

Ega Wahyu P

Pendidik

Suara Guru: Kebijakan yang Tidak Bijak

Diperbarui: 16 Oktober 2024   08:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Anda guru dan pernah mendapatkan honor dari suatu pekerjaan atau kepanitiaan? Misalnya; menulis ijazah, mengajar ekstrakurikuler atau ketua panitia lomba.

Ada satu hal menarik dari pemberian honor tersebut, yakni pemotongan sepihak dari sekolah. Dalilnya, akan digunakan untuk kepentingan sekolah, baik itu membeli ATK, mengecat dinding atau merenovasi toilet. Ada-ada saja alasannya, walaupun terkadang tidak masuk akal.

Lebih gilanya lagi, kebanyakan guru itu tidak protes. Mereka manggut-manggut saat dipotong sekian rupiah. Nanti sudah dibelakang hari, mukanya bersungut-sungut, tanda tidak ikhlas honornya dipotong. Saat di depan, tidak berani bercakap. Entah karena takut ditendang, atau memang tidak mengetahui regulasi.

Peristiwa tersebut terjadi lantaran banyak guru yang tidak tahu bahwa honor-honor itu tidak boleh dipotong dengan alasan yang telah disebutkan di atas. Paling mentok, potongan yang berlaku adalah pajak. Itu pun sekadar 11% saja, yang mungkin di tahun depan naik jadi 12%.

Tapi kalau sekolah mau membeli ATK, mengecat dinding atau merenovasi toilet, mbok ya dianggarkan dana BOSP, dong. Masa hasil keringat guru diperas untuk membangun fasilitas. Namanya tidak make sense.

Para guru juga begitu, terlalu takut untuk bersuara. Mana tahu pihak dinas pendidikan perihal yang begitu. Instansi plat merah itu tahu ada kejadian pemalakan, pemerasan dan segala bentuk yang mengarah pada 'korupsi' dari laporan pihak ketiga. Kalau Anda para guru merasa dirugikan, laporkan saja. Jangan hanya diam dan takut dipecat!

Faktanya tidak demikian. Para guru kita lebih senang bermain aman. Lebih baik diam menelan air liur daripada mengungkap kebenaran dimata publik. Bukan tanpa alasan, mencari kerja itu sulit, kalau melapor bisa kehilangan pekerjaan. Bukannya apa, cari kerja sekarang pakai orang dalam. Sekelas pejabat saja demikian, apalagi kita rakyat jelata.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline