Namanya wakil itu mestinya lebih kecil dari ketua. Misal, Presiden, mesti kedudukan dan kuasanya lebih besar daripada wakil presiden. Atau Gubernur, Walikota, Bupati, mestinya punya kuasa atas daerah yang dipimpinnya lebih besar daripada wakilnya. Begitu pun rakyat.
Secara teori, rakyat itu punya kuasa. Rakyat yang memerintahkan wakilnya untuk mengelola negara ini dengan sebaik-baiknya. Rakyat dengan pajak, membayar mereka yang menjabat untuk membentuk sebuah kebijakan yang benar-benar bijaksana, bukan hanya bijak-situ.
Faktanya, rakyat yang menuai maasalah, yang ditimbulkan daripada wakil-wakilnya. Sebut saja peraturan yang banyak ngawur itu, malah menyusahkan rakyat. Ekonomi melemah, pejabat minta masyarakat belanja. Itu tidak bijak, hanya menginginkan rating yang baik di mata investor asing. Mereka itu bekerja untuk rakyat atau investor asing?
Contoh saja, Tapera. Rakyat harus dipotong lagi gajinya hanya untuk sebuah program yang katanya akan kembali kepada rakyat, yakni rumah. Nyatanya, para wakil rakyat yang terhormat dengan mudahnya mendapatkan tunjangan rumah puluhan juta per bulan.
Waduh, padahal masih banyak orang miskin di negeri ini. Para guru, tenaga kesehatan, hingga staff di kantor-kantor saja gajinya memprihatinkan. Mereka susah mau mengambil rumah, karena dp-nya besar, gajinya kecil. Belum lagi mereka yang kerja serabutan, lebih kecil lagi.
Ini wakil rakyat, orang-orang pengemis suara, malah mereka yang menikmati jerih payah uang rakyat. Dengan mekanisme yang dibenarkan bahkan mereka sendiri yang membuat aturan, tunjangan rumah puluhan juta mudah saja mereka dapatkan.
Rakyat hanya dapat hikmahnya saja. Tak apalah, di dunia yang singkat ini, hidup sederhananya saja. Nanti semua akan dihisab, termasuk mereka yang senang menghisap uang rakyat.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H