Lihat ke Halaman Asli

Ega Wahyu P

Pendidik

Fundraiser, Anak-anak dan Donasi Masyarakat

Diperbarui: 8 September 2024   20:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pernah melihat anak-anak membawa proposal atau semacamnya sembari memberikan informasi program yayasan dan lembaga mereka?

Jika Anda berjalan ke pasar tradisional, car free day,  atau event-event lainnya akan mudah menjumpai orang-orang yang membagikan brosur guna menghimpun dana. Mereka disebut fundraiser, pencari dana, penghimpun donasi.  Orang yang tergabung di dalamnya mengajak masyarakat Indonesia yang gemar berderma itu untuk mengalirkan uang ke yayasan atau lembaga yang mereka geluti.

Hal ini lumrah terjadi, bahkan sudah ada digitalisasi donasi dalam bentuk web dan sejenisnya. Tapi yang akan dibahas disini adalah anak-anak yang menghimpun dana bagi yayasan atau lembaga.

Sebenarnya, sah-sah saja orang mau meminta donasi, memberikan donasi atau mengelola hasil donasi tersebut. Toh itu cara yang legal dan diakui negara. Silakan saja selama apa yang disampaikan jelas sumber dan alur pengeluaran dananya.

Problematikanya adalah mengapa anak-anak yang dijadikan tameng untuk meminta donasi pada masyarakat luas? Apakah itu sebuah strategi, bahwa orang akan lebih mudah kasihan dan memiliki rasa iba yang tinggi pada anak-anak, sehingga mau dan segera mendermakan uang mereka?

Beberapa waktu berlalu di pasar, seringkali kami jumpai anak-anak meminta donasi untuk program yayasan atau lembaga mereka. Strategi ini cukup berhasil meraup pasar derma dari orang-orang, ditambah dengan bumbu agamis, tentu semakin empuk daging yang didapat.

Maksimalkan Fungsi Masjid

Menurut Abdul Ghafur, seorang fundraising expert, setidaknya ada tiga prinsip fundrising, yakni mencintai kegiatan fundraiser, memahami lembaga dan program, serta memiliki kepekaan terhadap donatur. Apakah anak-anak usia remaja sudah memiliki ketiga prinsip tersebut?

Kalau dibilang cinta terhadap kegiatan fundraiser, anak-anak senang saja diberikan tugas tersebut. Jangankan fundraising yang bermuara pada uang, kegiatan gratisan saja mereka rela berjibaku. Baiklah, anggap saja anak-anak usia remaja memang mencintai program ini.

Kemudian, apakah anak-anak usia remaja memahami lembaga atau program yang diwakili? Pada poin ini, kita boleh beradu argumen. Tidak semua yayasan atau lembaga mampu memberikan pemahaman yang baik pada kadernya atas kegiatan fundraising, apalagi dalam konteksnya anak-anak.

Para remaja tidak akan ambil pusing soal lembaganya, baik dari siapa pengurusnya, bagaimana perizinannya hingga pembagian hasil 'jarahan' dari masyarakat. Mereka hanya tau beraksi dengan 'menodong' masyarakat dengan kalimat-kalimat yang sudah disetting.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline