Kalau Mau Kaya, Jangan Jadi Guru (Honor)!
Ungkapan itu sederhana, datar, singkat dan padat, tetapi penuh makna. Sebuah pernyataan yang spontanitas menasehati, bahwa ketika Anda melangkahkan kaki dan menetapkan hati untuk mengabdi menjadi seorang guru, maka hilangkan angan-angan menjadi orang kaya. Sebab, katanya, guru adalah pengabdian diri. Menyerahkan segenap jiwa dan raga untuk kemaslahatan dunia. Merelakan hidup seperti lilin, yang menerangi ruang, tetapi memusnahkan dirinya sendiri.
Beberapa kaula muda menentang pernyataan terdahulu. Kata mereka, guru juga bisa kaya, dengan berbagai metode. Bisa saja sambil jualan, atau mulai merintis usaha.
Toh, nyatanya tetap saja butuh usaha sampingan, kan? Tak mungkin jadi guru kaya hanya mengandalkan profesi guru. Kemuliaan profesi guru memang tidak dapat dinilai dari rupiah, tetapi berapa banyak guru serasa mati karena kesulitan menjalani hidup dengan rupiah pas-pasan.
Kemarin sore, ada saja berita yang membandingkan bahwa kasir di minimarket lebih dihormati secara gaji dibanding guru. Kasir bisa mendapati upah minimal UMR, sedangkan guru bisa mendapatkan upah seminimal mungkin. Entahlah, padahal di Indonesia menjunjung tinggi dan menghormati ilmu dan si empunya, secara teori. Tetapi fakta di lapangan, jauh panggang daripada api.
Guru dituntut untuk bisa mengajar dengan kualitas tinggi. Mereka harus memahami psikologi pendidikan, perkembangan karakter peserta didik, muatan kurikulum lokal dan nasional, teori dan konsep belajar, strategi dan media belajar, hingga konten materi ajar berikut pengembangannya. Semuanya tidak mudah, apalagi beban tugas administratif yang seabrek menjadikan guru semakin loyo dan tidak berdaya untuk menjalani hidup.
Dengan kondisi yang demikian, ternyata tugas-tugas berat tadi bukan akhir daripada beban tugas guru. Ada satu kondisi yang betul-betul memprihatinkan, yakni upah atau gaji yang tidak sesuai dengan kehidupan.
Mungkin dikarenakan guru bekerja dalam ranah pendidikan, yang sebetulnya tidak terlalu terlihat signifikan dalam hal margin. Hal itu tentu berbeda ketika seseorang bekerja di suatu perusahaan yang menjalankan bisnis tertentu. Pasti ada timbal balik yang jelas. Baik negara maupun orangtua, merasa tidak menggunakan jasa guru secara maksimal. Sehingga tidak rela membayar mahal untuk upah seorang guru.
Jika kita lihat, ketika akhlak anak-anak yang menyimpang, guru selalu disalahkan. Padahal perusahaan besar dan pemerintah melalui dinas terkait memberikan izin kepada para public figure di televisi-televisi nasional yang mempertontonkan adegan-adegan yang menjerumuskan anak-anak pada keburukan akhlak.
Artis rela dibayar mahal, yang didominasi pada penghancuran moral dan etika anak. Sementara guru yang mengajarkan kemurnian akhlak dan kebagusan karakter dibayar seminimal mungkin, atau bahkan kalau perlu tak usah dibayar. Banyak orang menganggap pekerjaan guru adalah pekerjaan ikhlas. Mereka lupa bahwa dengan kata ikhlas saja tidak kenyang untuk diri sendiri, apalagi keluarga di rumah.
Alhasil, dengan upah pas-pasan, sang guru harus mencari penghidupan di luar sekolah. Tentunya kegiatan itu akan menguras tenaga, waktu dan pikiran, yang bermuara pada kelelahan. Dampaknya, mengajar menjadi tidak maksimal, kehilangan motivasi dan cenderung mementingkan dunia usaha daripada memberikan sumbangsih ilmu pada generasi muda.