Lihat ke Halaman Asli

Ega Wahyu P

Pendidik

Pensil Warna Abay: Kebaikan yang Dikhianati

Diperbarui: 25 September 2022   11:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tiba di sekolah 5 menit setelah bel berbunyi. Beberapa kelas terlihat sepi, kantor guru apalagi. Guru disini paling malas jika hujan menderu di pagi hari. Pasti mereka datang terlambat, tak mau berusaha menggunakan mantel atau payung elektronik, atau apalah jenisnya untuk tiba tepat waktu.

Ubin putih terlihat kusam. Air terlihat menggenang di ujung selasar. Tandas sekolah sepertinya sumbat, air tumpah hingga ke kelas 7A. Para siswa senang saja, bermain dan berlari, seperti anak SD yang dibasahi hujan saat jam pelajaran.

Setengah jam berlalu, terlihat guru-guru mulai berdatangan. Satu dua guru masih menggunakan mantel, selebihnya menikmati rerintikan hujan yang manja. 10 menit lalu hujan mulai bersahabat, hanya tangisan langit yang masih tersedu-sedu.

"Mulai sekarang, biar aku saja yang mengumpulkan dana infaq sekolah."

"Nah, begitu dong. Dari kemarin diminta jadi petugas infaq tak mau." ucap Verdi, petugas infaq sebelumnya.

Di sekolah ini, siswa membantu guru menarik uang infaq setiap angkatan. Verdi ditunjuk secara paksa oleh ketua OSIS, yang sebenarnya menunjuk aku. Tapi saat itu, aku berkeras menolak, karena tidak setuju dengan adanya infaq ini. Pun demikian sekarang, aku masih tetap pada pendirian untuk tidak menyetujui kebijakan gila tersebut. Tetapi aku punya rencana lain.

Saat hari Selasa tiba, aku mulai bertugas mengambil uang infaq disetiap kelas. Dari kelas 8A hingga 8G, total uang yang didapat sekitar 350 ribu. Lumayan juga. Maklum saja, anak pejabat dan pegawai negeri banyak belajar disini, dan tak semuanya berinfaq karena ikhlas, melainkan karena gengsi. Saling berlomba siapa yang memberi infaq paling banyak diantara mereka.

Uang itu disimpan oleh siswa, yang nantinya diserahkan ketika sebulan berjalan. Dari kas lama yang dipegang oleh Verdi, sudah ada 800 ribu. Ditambah 350 hasil infaq hari ini, tentu saja itu lebih dari cukup untuk membeli pensil warna.

Sepulang sekolah aku singgah ke toko peralatan sekolah. Disana aku membeli berbagai peralatan mewarnai, baru kali ini aku merasakan sensasi belanja tanpa melihat harga. Aku yakin saja uang yang ada sekarang akan cukup membeli pensil warna, krayon dan paket melukis keluaran terbaru lengkap dengan kain kasa.

Derap langkah kakiku laju melintasi gedung-gedung pencakar langit, walaupun langit tak pernah merasakan cakarannya. Anak-anak yang bermain bola, bapak-bapak yang sedang minum kopi atau para ibu yang merumpi di pojok komplek tak aku hiraukan. Segera saja aku melintasi dunia ini menuju dunia paling indah sejagat alam. Dunia seni tiada batasan ruang dan waktu.

Gemuruh di langit kembali terdengar. Sepertinya awan hitam kembali berpatroli di sore ini, menemani tangisan langit mendung yang mulai jatuh ke atap rumah. Disaat yang sama, jam telah menunjukkan pukul 17 sore. Aku telah menghabiskan 4 jam lamanya di kamar, sendiri dan masuk dalam mahligai cinta bersama peralatan seni. Semua isi buku gambar telah aku warnai, sekarang aku mulai beranjak dalam dunia lukis di atas kain kasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline