Lihat ke Halaman Asli

Ega Wahyu P

Pendidik

Pensil Warna Abay

Diperbarui: 12 September 2022   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Orang-orang memanggilku Abay, entah bagaimana cerita nama itu tersanding dalam diriku. Aku hidup dibawah garis kebahagiaan, ayah ku hanya pengepul barang bekas, sementara ibu bekerja sebagai buruh cuci, yang terkadang absen menerima cucian lantaran penyakit rematiknya.

Gerbong kereta melaju kencang, kesiur angin menggerakkan dedaunan yang telah jatuh dari rimbanya. 

Aku bersemangat berangkat ke sekolah, ini adalah hari yang spesial, hari kamis. Aku sangat menantikan datangnya hari kamis karena ada pelajaran menggambar. Uratan pensil dengan mudah menggores kertas suci bersih tanpa noda. Aku dikenal hebat dalam menggambar, selalu mendapat pujian dari para guru, atau teman-teman di kelas. Gambar abstrak ataupun pemandangan alam adalah favoritku. Nilai 90 ke atas selalu menjadi langganan ku dalam pelajaran ini.

Hal itu berbeda jauh ketika pelajaran matematika. Gurunya membosankan, tidak update dan selalu marah di kelas. Entah apa sebabnya, ada saja hal yang selalu diributkan. Permasalahan rumah tangga tampaknya jadi pemicu amarah. Terserah saja. Aku tidak pernah peduli. Jatuh dalam goresan pensil 2B pada kertas putih jauh lebih indah dibandingkan harus berhadapan dengan matematika dan segala macam kengeriannya.

"Kenapa gambar mu selalu tidak berwarna, Bay?" Dendi, anak pejabat, bertanya kepada ku.

"Aku tidak punya pensil warna."

"Tapi setahun yang lalu gambar mu masih berwarna."

"Hey, semangka busuk. Setahun adalah waktu yang panjang. Setiap detik aku menggambar dan mewarnai. Hingga tiba pensil warna ku habis ditelan zaman. Satu-satunya yang berwarna adalah hidup ku. Itu pun karena melihat wajah ayah dan ibu."

"Abay, aku hanya bertanya tentang pensil warna mu. Bukan soal hidup mu yang penuh dengan retorika. "

Aku pergi meninggalkan Dendi. Dia tidak pernah mengerti hidup orang lain. Sama seperti ayahnya yang bekerja di gedung suci. Tak pernah melihat nasib rakyat jelata seperti keluarga kami. Mereka hanya datang disaat pilkada dan pergi ketika telah sah duduk di kursi mahal.

Kemampuan akademik ku buruk. Aku hanya mengerti seni menggambar. Itu adalah hidup ku. Karena hal tersebut aku tidak diterima di sekolah negeri. Katanya, nilai ku tidak mencukupi syarat untuk diterima. Terpaksa ayah ku menjual sepatu olahraga ku satu-satunya untuk membayar SPP sebulan pertama di sekolah swasta sebelah rumah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline