Lihat ke Halaman Asli

Ega Wahyu P

Pendidik

Pejabat Kampus: Antara Uang dan Jaket

Diperbarui: 2 Juni 2022   12:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Beberapa waktu lalu telah viral sebuah film yang bergenre horor dan menceritakan perjalanan KKN di sebuah desa di pulau para wali. Dalam sekian waktu, film tersebut telah ditonton sekian juta pasang mata, memberikan pemahaman sederhana, bahwa masyarakat Indonesia senang dengan tayangan sejenis itu.

KKN, atau kuliah kerja nyata, merupakan suatu mata kuliah yang wajib diambil dan ditunaikan oleh mahasiswa, terlebih ketika mereka telah menginjak semester akhir. KKN menjadi satu diantara sekian pilar perguruan tinggi. Semua telah mengetahui seluk beluk KKN, yakni program pengabdian mahasiswa kepada masyarakat, baik lokal maupun nasional, bahkan internasional.

Dalam perjalanannya itu, KKN punya banyak macam istilah, ada kampus yang menyebutnya KKL; kuliah kerja lapangan, atau KKM; kuliah kerja mahasiswa, atau KKU; kuliah kerja usaha, dan sekian banyak istilah lainnya dimasing-masing universitas. Intinya, KKN merupakan wujud dari pilar perguruan tinggi, yakni menghadirkan mahasiswa yang mampu mengabdi dan bermanfaat di masyarakat.

Sehingga KKN (atau istilah lainnya) menjadi program tahunan kampus. Tentu saja setiap program membutuhkan anggaran, baik operasional atau sekadar pembentukan panitianya. 

Berdasarkan pengalaman pribadi, setiap mahasiswa yang akan melaksanakan KKN, tentu dibekali beberapa hal, baik itu pengarahan secara teknis maupun perbekalan yang sifatnya material. Ada kampus yang memberikan baju KKN, adapula yang berbentuk jaket dan uang saku untuk digunakan dalam proses pengabdian.

Walau tidak semua kampus menyediakan fasilitas tersebut, tentu kebijakan pelaksanaan KKN ini harus persiapkan dengan matang, baik regulasi, posko KKN, maupun pembekalannya. 

Di kampus plat merah disebuah kota, beberapa tahun terakhir melaksanakan KKN dengan memberikan fasilitas berupa jaket dan uang saku. Tidak banyak tapi cukup untuk hidup beberapa hari. Setidaknya mengurangi beban mahasiswa yang menjalaninya selama 40 hari.

Namun, di tahun pembebasan semua aktivitas dari virus corona, atau tahun diberlakukannya kebijakan bebas masker, entah mengapa uang saku ditiadakan. 

Alasannya klasik, katanya pejabat kampus, anggaran tidak mencukupi. Kampus hanya dapat menyediakan jaket untuk setiap mahasiswa, sementara biaya hidup selama sebulan lebih di kampung orang, dicari sendiri oleh mahasiswa. Kampus tidak mau tahu, pejabat sudah repot, dan tidak mau direpotkan lagi dengan keadaan finansial mahasiswa.

Padahal, tidak lama setelah selesai pelaksanaan KKN, para mahasiswa harus membayar uang kuliah. Tentu saja pengeluaran mereka menjadi double. Sebenarnya kemana anggaran yang seharusnya ada disetiap tahun? 

Mengapa anggaran itu cepat habis? Bukankah setiap kegiatan di kampus, apalagi plat merah, harus terkoordinasi dan sesuai dengan rencana anggaran tahunan. Lantas, sekali lagi, mengapa kampus "menghilangkan" uang saku mahasiswa?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline