Lihat ke Halaman Asli

Ega Wahyu P

Pendidik

Jangan Bicara Kalau Tak Punya Data - Bagian 2

Diperbarui: 13 Maret 2022   21:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suasana lengang sejenak.

Semenjak pertanyaan dosen lelaki itu, kebisuan semakin menjadi di ruang sidang. Mahasiswa hanya melihat Al dari kejauhan. Mata Al tampak melihat sebuah benda di mejanya. Pertanyaan dosen tentang Ahmad Fatoni sang pengarang metode Maisura, membuat Al harus segera menuntaskannya.

Seperti ada yang menuntun, tangan Al mulai membolak-balik bukunya. Tiba-tiba saja ia langsung membuka halaman terakhir, halaman yang berisikan bibliografi. Tertulis nama Ahmad Fatoni. Teringatlah Al akan sesuatu.

"Ahmad Fatoni ini adalah rujukan penulis, pak. Beliau mengembangkan metode Maisura karangan Dr. Ahmad Fatoni." Al memecah kesunyian.

Kedua dosen melihatnya, seakan-akan berkata, "Bagaimana anak ini bisa menjawab, sedangkan raut wajahnya mengatakan tidak tahu"

"Apakah ini pengembangan, atau hanya sebuah versi lain dari metode Maisura?" dosen lelaki tidak mau kalah.

Ia terus mencecar Al dengan pertanyaan berkelanjutan. Banyak dosen bertipikal demikian. Selalu enggan mengalah. Padahal mahasiswa telah banyak mengorbankan daya pikirnya, hingga tetesan keringat jatuh bebas menuju permukaan wajah, membasahi setiap senti baju, membuat hawa mulai panas disekujur tubuh. Gengsi yang terlalu tinggi selalu menjadi alasan. Mengapa pula dosen bisa kalah dari mahasiswa, secara status sosial maupun pendidikan, mahasiswa jauh tertinggal dibanding dosen.

Tapi kehidupan akademik kampus begini adanya. Argumentasi harus berdasarkan data. Apalah bedanya ucapan yang dikatakan Al, tanpa data, dengan dongeng pengantar tidur warisan tetua di kampung halaman. Jadi bulan-bulanan lah dia di ruang itu.

"Ini adalah pengembangan. Bukan versi lain dari metode Maisura, pak." Al tegas menjawab. Entah ilham dari mana yang menghampirinya, berani betul menjawab singkat dan cepat. Sepertinya akal Al mulai bermain dalam retorika pertanyaan dosen. Pertanyaan itu hanyalah refleksi pemahaman Al terhadap proposalnya.

"Terus bedanya dimana?" dosen lelaki kembali bertanya.

Sudah terbaca. Satu pertanyaan yang dijawab, akan mengundang pertanyaan lain, yang terkadang pertanyaan itu terlihat sederhana tetapi mematikan. Dosen ini menyebalkan. Walau sebenarnya Al senang dengan hal itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline