Ada sebuah lelucon dari kampung saya ketika terjadi Perang Teluk yang terjadi pada tahun 1991. Perang melawan Irak yang menginvasi Kuwait tersebut menjadi ajang perjudian oleh sebagian masyarakat yang gemar berjudi. Para penjudi akan bertaruh apakah Rudal Scud milik Irak akan ditembakkan ke Israel hari itu.
Perang tentu menjadi momentum yang menegangkan bagi pihak-pihak yang berperang. Demikian juga bagi sebagian masyarakat penjudi di daerah saya. Mereka rajin membaca koran di rumah tetangga atau mencermati berita di radio agar memiliki dasar pengetahuan untuk bertaruh.
Saat rudal belum jadi ditembakkan, taruhan dimulai lagi esok harinya. Perasaan tegang terakumulasi menjelang acara Dunia dalam Berita di televisi ketika kepastian penembakan rudal diberitakan. Dalam drama, senjata yang muncul di babak pertama, baru ditembakkan di babak ke tiga.
Mereka terus menunggu kabar penembakan Rudal Scud jadi dilakulan atau tidak. Jika belum dilakukan, mereka akan menganalisa terus berdasarkan berita hari itu. Perputaran uang judi terus berlangsung bahkan setelah Rudal Scud ditembakkan pertama kali pada tanggal18 Januari 1991.Taruhan segera berlanjut apakah Israel akan membalas serangan Irak.
Perang Teluk melibatkan banyak negara. Irak yang sendirian melawan 23 negara yang dipimpin Amerika Serikat. Di luar itu, masyarakat dunia juga saling memberi dukungan baik untuk Kuwait maupun untuk Irak.
Kondisi ini tepat menggambarkan kata-kata Thomas Hobbes, "Bellum omnium contra omnes" (Perang semua melawan semua). Yang 'berperang' tidak hanya tentara-tentara dari dua kubu, melainkan masyarakat luas dunia.
Di kampung saya, mula-mula peristiwa Perang Teluk hanya menjadi perbincangan sosial di pos ronda, jagong bayi, kondangan, atau kumpulan RT. Selanjutnya, perbincangan berubah menjadi perseteruan sosial. Dalam satu RT, anggota-anggotanya terpecah, membagikan diri secara sadar sesuai pilihannya. Tak jarang, banyak yang ikut-ikutan.
Seorang seniman lokal di kampung saya berkomentar tentang Perang Teluk, "Amerika Serikat itu ibaratnya Patih Sengkuni yang suka adu domba." Saya mengerti arah keberpihakannya kepada Irak. Para pendukungnya akan khusyuk mendengar general lecturer-nya. Seorang lainnya yang membela Amerika Serikat dan sekutunya berujar, "Asmuni (asal muni-bicara)!"
Masing-masing pihak mengeluarkan pendapatnya. Ujung-ujungnya, mereka beranggapan bahwa ini merupakan perang agama. Lalu, Amerika Serikat dianggap sebagai biang kerok. Hanya para penjudi saja yang tidak memikirkan muatan politik agama dalam perang tersebut.
Hal seperti itu berlanjut saat ini. Pada perang Israel - Palestina akhir-akhir ini, polarisasi dukungan muncul lagi. Dukungan terhadap Palestina muncul dari berbagai kelompok. Salah satu organisasi massa besar bahkan menggalang dana untuk membantu Palestina. Perang komentar warganet gaduh lagi dan lagi.
Perseturuan semakin intens saat ini. Di era medsos, mengutarakan isi hati atau pilihan pribadi tak perlu menunggu momen ronda, jagong bayi, atau kondangan. Dalam hal seseorang tak bisa atau mau berargumen, dengan memberi 'jempol' seseorang sudah bisa menunjukkan sikapnya.