Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Kuncoro

Pembaca di saat ada waktu, penulis di saat punya waktu.

"Robohnya" Perpustakaan Kami

Diperbarui: 17 Mei 2021   12:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hari ini adalah Hari Buku Nasional (Harbuknas). Tanggal 17 Mei dipilih sebagai Harbuknas bertepatan dengan momentum hari berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Penetapannya dimaksudkan untuk dapat menumbuhkan budaya atau meningkatkan minat membaca (dan menulis) di kalangan masyarakat.

Dilaporkan oleh Puslitjakdikbud dalam Indeks Aktivitas Literasi Membaca 34 Provinsi (2019), ada 4 dimensi sebagai tolok ukur, yaitu kecakapan, akses, alternatif, dan budaya. Dari semua dimensi, hanya dimensi kecakapan saja yang sudah cukup baik di masyarakat.

Mengoreksi Mitos Belajar

Dari ilustrasi di atas, memperbaiki budaya literasi, secara lebih sempit literasi membaca, bukan hal mudah. Nyatanya, selama 19 tahun, budaya literasi kita tak kunjung membaik. Dengan demikian, fokus perbaikannya perlu diarahkan kepada generasi saat ini. Anak-anak sekolah sejak dini perlu didorong untuk menyukai aktivitas membaca.

Berbagai "gerakan" membaca yang dialamatkan kepada orang dewasa akhirnya hanya jatuh sebagai selebrasi saja. Kita punya jenis "budaya" lain yang masih kental, yaitu melakukan sesuatu hangat-hangat tahi ayam. Budaya ini dulu yang kita kelola untuk diubah bagi anak-anak kita.

Membaca harus kita kenalkan sebagai kegiatan menyenangkan. Dengan demikian, kegiatan bisa lebih berkelanjutan bagi anak-anak. Dalam konteks anak, kegiatan membaca menyenangkan tentu bisa dipantik dengan membaca buku fiksi (cerita anak), bukan buku teks pelajaran. Tantangannya, belajar sebagai aktivitas kognitif dianggap afdol kalau yang dibaca adalah buku teks pelajaran.

Bagi anak-anak, kegiatan membaca akrab dilakukan di sekolah. Bahan bacaan yang dikonsumsi selalu berorientasi pada buku-buku pelajaran sesuai kurikulum. Anak-anak akan disebut  belajar ketika mereka membaca buku-buku pelajaran tersebut. Ketika mereka membaca buku-buku fiksi (cerita anak), mereka tidak disebut belajar. Mereka hanya dianggap sedang mengisi waktu luang untuk kesenangan.

Sekolah sangat berhasil membangun mitos belajar yang mengesampingkan buku-buku fiksi. Slogan "Buku adalah jendela dunia" yang begitu popular di telinga kita mengartikulasikan cara pandang yang sebenarnya mengkhawatirkan. "Jendela dunia" yang dimaksud adalah hal-hal yang memberi informasi, ilmu, dan pengetahuan sebagaimana dijabarkan di dalam kurikulum.

Pengalaman saya  bertemu dengan banyak pendidikan, sedikit sekali saya menemukan pendapat yang mengkorelasikan membaca dengan mengasah imaginasi atau meningkatkan critical thinking. Sepertinya masih ada anggapan umum bahwa belajar menjadi inklusif sebagai aktivitas mengoleksi pengetahuan.

Anak-anak yang berhasil adalah mereka yang menjadi nasabah yang menabung pengetahuan dari buku teks pelajaran (banking system of education). Pendidikan yang dilandasi semangat seperti itu akan menggerakkan aktivitas di perpustakaannya sebagai beban. Anak-anak berkunjung ke perpustakaan karena ada tugas. Kebiasaan membaca berkelanjutan tidak terjadi.

Hal ini menjawab permasalahan kenapa minat baca masyarakat rendah. Masyarakat yang sudah selesai sekolah tidak perlu membaca lagi. Mereka tidak perlu bersusah-payah mengumpulkan pengetahuan lagi. Belajar bukan terjadi sepanjang hayat, tetapi sepanjang bersekolah formal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline