Lihat ke Halaman Asli

Mengenang Mbah Lindu, Legenda Gudeg Jogja yang Kini Terkenal Se-Antero Dunia

Diperbarui: 13 Juli 2020   14:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: kincir.com

Saya lupa tepatnya, mungkin sekitar 5 tahun yang lalu, saya dan istri menyelinap pelan-pelan dari kamar kami di Hotel Tentrem untuk pergi mencari sarapan di Jogja. Walaupun jajaran panganan pagi hari di Hotel Tentrem bisa dibilang yahud, namun nostalgia sarapan di pinggiran kota jogja sulit di replikasi oleh makanan di hotel mana pun. 

Maklum, saya dan istri dulu bertemu saat sama-sama kuliah di Jogjakarta sebelum akhirnya berkeliling indonesia untuk bekerja. Pagi itu, berbekal pengetahuan dari internet saya dan istri mencari satu nama, Mbah Lindu. 

Untuk Gudeg, saya sudah punya banyak langganan tetap, dari mulai yang buka hanya beberapa Jam di pagi hari hingga yang buka sepanjang hari, saya punya langganan. Tapi hasrat untuk mencoba sesuatu yang baru, sekedar menambah khazanah per-gudeg-an, selalu sulit dibendung. Setiap ada info gudeg legend ataupun gudeg baru yang rasanya enak, pasti saya coba. 

Berbekal GPS dan alamat serta ancer-ancer dari internet, sampailah saya dan istri di Gudeg Mbah Lindu. Adanya persis di depan Hotel Grage, letaknya di emperan jalan, jauh dari kemewahan, tapi tetap ramai didatangi pengunjung. Setelah parkir di Hotel Grage kami memesan dua porsi gudeg lengkap untuk dimakan ditempat. 

Model gudegnya tergolong gudeg kering, dengan rasa dan aroma yang khas. Selain Gudeg dan Lauk Pauk , ada Sambel Goreng Krecek yang juga yahud dengan cabe rawit hijau utuh yang menunggu diceplus untuk memberikan sensasi pedas.  Untuk yang ingin sarapan lebih ringan juga disediakan bubur sebagai pengganti nasi. 

Saya beruntung saat itu masih bisa bertemu dan dilayani langsung oleh Mbah Lindu. Saat terakhir kembali kesana, Mbah Lindu sudah tidak ikut berjualan dan hanya masak di rumah. Penjualan ditangani oleh Putri Mbak Lindu yang dulu kalau tidak salah juga rutin ikut jualan dan bagian bantu-bantu urusan pembayaran dari pelanggan. 

Mbah Lindu wafat diusianya yang sudah lebih dari 100 tahun, info yang saya dapat dari media bahwa Mbah Lindu wafat dikarenakan faktor usia yang memang sudah lanjut. (sumber: Kompas.com )

Mbah Lindu pun tidak ingat berjualan dari kapan, dia hanya ingat berjualan sejak jaman belum menikah atau jaman kolonial dulu sebelum kemerdekaan. Rasa yang kita icipi saat ini adalah rasa yang dari dulu ia bawa, melewati dasawarsa demi dasawarsa hingga akhirnya bertahan hingga saat ini. Ada nostalgia dan rasa tersendiri ketika kita mengetahui sesuatu yang dihidangkan kepada kita ini sudah ada sejak jaman dahulu kala. Bahwa Mbah Lindu bertahan melewati waktu dan melestarikan rasa yang saat ini mungkin sudah banyak diicipi orang dari mancanegara.

Mbah Lindu masuk di acara kuliner besuta Netflix berjudul  "Street Food Asia". Asli, saat nonton acaranya, saya berkali-kali menelan ludah saking kepengennya untuk terbang ke Jogja dan duduk di depan Mbah Lindu menikmati sepiring Nasi Gudeg. Tidak perlu banyak, cukup nasi setengah, ayam suwir, telur, krecek ekstra dan tentu cabe rawit utuhnya tak ketinggalan. Saya ingin makan sesuap penuh dengan semua unsur yang ada di piring, dan tenggelam dalam rasanya.

Selamat jalan Mbah Lindu, kami rindu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline