Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Hidayat

Mahasiswa

Fungsi Maqashid Syari'ah dalam Memanusiakan Manusia

Diperbarui: 21 Juli 2024   17:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber : koleksi pribadi

Kontributor : Wahyu Hidayat(Mahasiswa S2 Ilmu Al Qur'an - Tafsir PTIQ dan Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal)


Pembentukan sebuah hukum dalam Islam tidak terlepas dari tujuan ke-maslahatan umat manusia. Pembentukan produk islam bertujuan untuk mencegah terjadinya keburukan (mafsadat) di semua lini kehidupan manusia. Lewat hukum yang dibentuk dalam islam, melahirkan produk jurisprudensi (fiqih) yang melahirkan sebuah sistem kehidupan manusia yang berakhlak dan tidak merugikan sesama manusia. Hasil dari produk hukum fiqih yang dilahirkan bukan hanya berbicara masalah halal, haram, mubah, maupun makruh dari sebuah perbuatan yang dilakukan seorang muslim. Namun melihat dari efek keseluruhan yang dirasakan, yakni bagaimana islam "memanusiakan manusia" dengan produk fikih yang berlandaskan pada maqashid syari'ah. Maqashid syari'ah merupakan proses suatu tujuan pembentukan hukum islam yang memperhatikan kemaslahatan dan hak-hak manusia sebelum melakukan "penarikan fatwa" terhadap sebuah kasus. Lewat maqashid syari'ah , seorang mujtahid (ulama pembuat fatwa) memutuskan sebuah hukum tidak hanya berdasar pada pemikiran dan nafsunya belaka, namun berdasar kepada pertimbangan maslahat umat.
Contoh penerapan maqashid syari'ah (tujuan penerapan hukum islam di masyarakat) misalnya terjadi pada kasus zakat maal (zakat harta). Ulama kontemporer mengeluarkan fatwa terkait bolehnya seseorang mengeluarkan zakat  harta menggunakan uang cash bahkan transfer bank kepada pengelola zakat (LAZ) untuk disalurkan kepada mustahik. Banyak ulama kontemporer hari ini yang juga memperbolehkan kepada lembaga pengumpul zakat untuk mengelola dan menyalurkan dana zakat bukan hanya dalam bentuk makanan, namun bisa juga pada bentuk yang lain seperti beasiswa pendidikan fakir miskin, maupun renovasi tempat tinggal dhuafa. Alasan ini diperkuat dengan fungsi maqashid syari'ah tadi, yakni hukum diperbolehkannya penyaluran zakat maal tidak melulu berupa makanan kepada fakir miskin. Tetapi melihat kebutuhan urgen apa yang sedang diperlukan mustahik (penerima zakat) ketika itu. Lewat "cara" pemberian zakat maal kepada fakir miskin ini, menjadi salah satu contoh penerapan maqashid syari'ah yang memiliki fungsi sebagai hifzhun nafs (menjaga jiwa), yakni prinsip memanusiakan manusia untuk senantiasa ikut menjaga saudara sesama muslim agar bisa melanjutkan kehidupan mereka.


Dalam tataran ilmu ushul fiqh, pertimbangan kemaslahatan umat menjadi hal yang paling penting dalam proses pengambilan sebuah keputusan hukum (istinbath). Inilah cara islam bagaimana memperlakukan manusia secara "manusiawi". Yakni mengeluarkan sebuah hukum halal maupun haram dengan mempertimbangkan hak dan kewajiban manusia, kemudharatan yang timbul, termasuk manfaat apa yang dirasakan manusia maupun alam. Jangan sampai sebuah tindakan manusia yang tanpa dilandasi aturan hukum islam, bisa menyakiti dirinya sendiri maupun orang lain. Setiap pengambilan hukum dalam islam perlu memperhatikan aspek-aspek kehidupan dan kebermanfaatan, inilah yang disebut sebagai urgensi adanya maqashid syari'ah.
Imam Syathibi termasuk Imam Ghazali menaruh konsentrasi besar mengenai maqashid syari'ah ini dalam kajian ushul fiqh. Mereka termasuk ulama lain mengemukakan secara tidak langsung bahwa "aspek kemaslahatan dan kemudharatan" yang dibahas dalam ranah maqashid syari'ah bukan hanya melahirkan produk hukum islam secara jurisprudensi semata, namun lebih dari itu. Yakni bagaimana menjaga (hifzh) hak dan kewajiban setiap muslim terhadap dirinya, orang lain, maupun alam di sekitarnya. Inilah yang melandasi penulis untuk memberikan terma bahwa maqashid syari'ah merujuk cara islam "memanusiakan manusia". Imam Syathibi membagi lima aspek besar penjagaan (hifzh) islam terhadap manusia yang lahir dari adanya proses maqashid syari'ah. Lahirnya produk hukum islam (fiqh) didasarkan pada lima fungsi hifzh tersebut. Diantaranya meliputi (1) hifzhud diin (menjaga agama), (2) hifzhun nafs (menjaga diri), (3) hifzhul 'aql (menjaga pikiran), (4) hifzhun nasl (menjaga keturunan), dan (5) hifzhul maal (menjaga harta).

PRAKTIK MAQASHID SYARI'AH DALAM KASUS COVID-19


Hal atau kasus yang bisa diambil contoh dari penerapan maqashid syari'ah di era kontemporer khususnya di Indonesia, adalah apa yang terjadi pada kasus pandemi Covid-19 beberapa tahun yang lalu. Muncul fatwa kontemporer era Covid-19 terkait dengan pengambilan hukum islam (istinbath), sedikit banyak mempengaruhi siklus sosial dan ibadah umat muslim di Indonesia. Sebagai contoh, para ulama mengambil fatwa terkait kegiatan sholat di masjid yang melahirkan produk fikih terkait sholat dengan kondisi shaf berjarak. Contoh lainnya, seperti penetapan hukum halal dan haramnya vaksin untuk mencegah penyebaran virus pandemi. Pembentukan hukum (istinbath) semua itu terbentuk atas dasar maqashid syari'ah yang berdasarkan kepada tujuan kemaslahatan umat, terutama kesehatan.
Dalam kasus Covid-19 beberapa tahun ke belakang, penulis merangkum beberapa tinjauan "paling menonjol" berkaitan dengan fungsi maqashid syari'ah dalam mencari jalan keluar atas fenomena Covid-19 tersebut :

a. Orientasi Hifzhun Nafs (menjaga diri), pada proses pembentukan fatwa terkait halalnya vaksin Covid-19. Setelah bekerjasama dengan ahli epidemolog dan ahli kesehatan, banyak lembaga fatwa di Indonesia seperti MUI, Bahtsul Masa'il NU, dan Dewan Tarjih Muhammadiyah, yang menetapkan "halalnya" penggunaan vaksin untuk mencegah penyebaran virus Corona. Bahkan ada suatu pendekatan hukum dalam melakukan istinbath atas kebolehan penggunaan vaksin Covid ini yang disebut istihalah vaksin. Para ulama menilai, bahwa penghalalan vaksin tidak terlepas dari fungsi hifzhun nafs tadi. Yakni untuk mencegah penyebaran virus dan menjaga kesehatan umat.

b. Orientasi Hifzhud Diin (menjaga agama), pada kasus social distancing area shaf di masjid dan pengadaan shalat hari raya di rumah masing-masing. Para ulama mengeluarkan fatwa terkait hal ini dengan alasan maqashid untuk mencegah langsung tatap muka yang menimbulkan resiko tertularnya virus Covid-19 ini. Karena sebab itu juga, maka ulama mengambil istinbath hukum dengan diperbolehkannya melaksanakan shalat 'id di rumah pada masa pandemi untuk mencegah terjadinya penyebaran virus ('alad dharurah).

c. Orientasi Hifzhul Maal (menjaga harta), terjadi pada kasus distribusi zakat dan bantuan sosial. Para ulama ber-istinbath, bahwa diperbolehkannya penyaluran zakat berbentuk pangan dan lainnya secara massif kepada orang-orang yang terdampak ekonomi atas pandemi tersebut. Ini didadasarkan pada dampak ekonomi yang luar biasa, seperti tutupnya tempat usaha, pemecatan pegawai dimana-mana, maupun penurunan daya beli masyarakat. Kasus penurunan ekonomi umat dan mencegah kemiskinan yang terus meningkat di masa Covid, menjadi salah satu munculnya maqashid syari'ah di masa pandemi.

Dari contoh di atas justru menunjukkan jika pembentukan hukum islam (fiqh) bukan hanya berlandaskan kepada aturan-aturan formal saja, namun juga melihat kepada tujuan syari'ah (maqashid) kenapa suatu hukum dibuat. Tujuan maqashid syari'ah tersebut kembali lagi kepada bagaimana islam menginginkan kehidupan yang maslahah di semua lini manusia. Inilah yang menjadikan islam dengan maqashid syari'ah-nya cocok menjadi pelopor dalam menjalankan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan itu maqashid syari'ah pantas disebut dengan cara islam  berusaha untuk bagaimana "memanusiakan manusia" dengan melahirkan produk fiqh yang bermanfaat untuk umat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline