Lihat ke Halaman Asli

Eka Wahyu

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Sistem Akad pada Obligasi Syariah sebagai Alternatif Pengganti Sistem Bunga

Diperbarui: 24 Mei 2017   08:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Salah satu acuan ukur perekonomian negera berkembang seperti Indonesia adalah prosentase utang luar negeri yang dimiliki. Tiap tahunnya, Indonesia selalu defisit anggaran untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur dalam negeri. Hal ini menyebabkan utang sebagai suatu keharusan bagi pembiyaan investasi. Penelitian 10 tahun terakhir ini menunjukkan utang luar negeri pemerintah mengalami peningkatan tajam, meskipun begitu rasio utang luar negeri terhadap pendapatan nasional masih sekitar 28,2%. Dan sampai saat ini Indonesia masih terus menanggung bunga utang tersebut.

Pembayaran utang setiap tahunnya akan berakibat pada penurunan pembangunan dalam negeri. Hal ini dikarenakan banyaknya dana APBN dipakai untuk membayar cicilan utang luar negeri, termasuk dengan bunganya. Akibatnya dalam jangka panjang, dapat terjadi bermacam-macam permasalahan perekonomian negera Indonesia, salah satunya nilai tukar jatuh (inflasi). Generasi mendatang yang tidak tahu menahu juga akan menanggung beban utang ini. Situasi ini membuktikan secara empiris bahwa utang luar negeri berkolerasi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Bahkan dapat menurunkan daya investasi dalam negeri.

Pemerintah mulai bangkit setidaknya dalam meminimalisir menggunakan sistem bunga pada pinjaman utang luar negeri, salah satunya dengan menggunakan sistem bagi hasil/fee dalam sistem ekonomi syariah. Saat ini, secara global, perkembangan ekonomi syariah telah menjadi alternatif terbaik yang lebih berkesinambungan dan berkeadilan sebagai pengganti sistem keuangan sosialis dan kapitalis.

Invasi ekonomi syariah tidak hanya berkembang di negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim seperti kawasan Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Tenggara, tetapi tumbuh secara sporadic di negara-negara non Muslim, bahkan telah mendunia. Walaupun dalam praktiknya, ekonomi syariah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip hukum syariah dalam Islam, namun dapat dipraktikkan oleh seluruh pelaku ekonomi dunia. Di Hong Kong misalnya, terdapat instrumen keuangan berbasis syariah yang diterbitkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal Hong Kong yang bernama Hangseng Islamic China Index Fund. Hal ini membuktikan bahwa sistem ekonomi syariah aplikatif bagi pelaku ekonomi konvensional, non Muslim.

Indonesia mempunyai potensi yang baik guna mendorong perkembangan ekonomi syariah, dengan didukung sebagai predikat negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Bersama dengan Turki, Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab dan Qatar, Indonesia dapat menjadi negara terdepan dalam perkembangan ekonomi syariah di masa yang akan datang. Salah satu instrumen keuangan syariah yang menjadi peran penting untuk pertumbuhan ekonomi dunia adalah pasar modal. Tidak hanya hadir dalam bentuk konvensional, tetapi pasar modal juga tersedia dalam bentuk syariah yang mengacu pada prinsip-prinsip hukum syariah.

Di Indonesia, terdapat tiga macam produk yang dihasilkan dari pasar modal syariah, yaitu obligasi syariah (sukuk), saham syariah dan reksadana syariah. Kegiatan pasar modal syariah di Indonesia dipelopori oleh PT. Danareksa Investment Management dengan menerbitkan reksadana syariah. Hingga saat ini, berbagai instrumen produk pasar modal syariah berkembang pesat dengan banyak diterbitkannya saham syariah dan obligasi syariah/sukuk.

Sukuk sebagai salah satu produk dari pasar modal syariah memiliki animo yang kuat dari berbagai kalangan, baik Muslim maupun non Muslim. Selain sangat aplikatif bagi siapa pun dengan berbagai latar belakang perekonomian, sukuk juga mampu menembus batas wilayah dan agama dalam perkembangannya. Sukuk meluruskan para investor kepada prinsip ethical investing dalam berekonomi, yang menjadi prinsip dalam Islam. Berhati-hati dalam berinvestasi dengan cara menghindari hal-hal yang bersifat spekulatif (maysir) dan tidak jelas (gharar). Menjahui perihal riba telah mengembalikan hakikat investasi dari konsep mengalihkan risiko (risk transfer) kepada konsep berbagi risiko (risk sharing).

Penerbitan sukuk ini menjadi salah satu sumber dana untuk menutupi defisit anggaran pemerintah guna membiayai proyek-proyek APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Di sisi lain, seluruh Warga Negara Indonesia dapat memberikan kontribusi untuk membangun bangsa dengan berinvestasi yang aman dan sesuai syariah melalui sukuk ini. Jika dulu, saat terjadi krisis keuangan global tahun 1997-1998, perekonomian Indonesia tidak stabil karena hanya bersandar pada Utang Luar Negeri (UTN), akan tetapi saat ini perekonomian kita lebih stabil sejak diterbitkannya sukuk dan Surat Utang Negara (SUN). Stabilisasi ini terbukti perekonomian Indonesia tidak goyah pada saat terjadi krisis ekonomi global yang melanda hampir seluruh negara-negara Barat yang disebabkan oleh subprime mortgage di Amerika Serikat. Melalui sukuk dan Surat Utang Negara juga tidak terjadi intervensi asing terhadap perekonomian Indonesia, jadi pemerintah bisa membuat lapangan kerja untuk negeri sendiri.

Oleh : Eka Wahyu HB, Lc. (Mahasiswa Pascasarjana PSTTI-UI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline