Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Hamijaya

Semangat adalah perjuangan yang sulit.

Bencana dan Sikap Apatisme

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1391569437425689782

[caption id="attachment_293863" align="aligncenter" width="602" caption="Hujan Gerimis, Warga Pekalongan Tetap Sambut Meriah Presiden SBY (www.setkab.go.id)"][/caption]

Ada hukum sebab dan akibat. Dan itu berlaku dimuka bumi ini, terutama bagi para penghuninya.

Nah, bencana alam yang terjadi sekarang ini, mulai dari banjir, tanah longsor sampai gunung meletus merupakan perbuatan dari ulah manusia yang tidak bersahabat dengan lingkungan. Meski murka alam itu bisa juga dikarenakan siklus tahunan, putaran cuaca atau iklim. Namun sebagian besar akibat ulah manusia.

Contohnya, kota Jakarta yang dulunya tidak pernah banjir bandang, kini tenggelam oleh genangan air bah berwarna coklat. Penyebabnya, bukit diatas Jakarta, di wilayah Jawa Barat habis jadi wilayah hunian, yang seharusnya jadi penampung air hujan. Kemudian sampah yang dibuang di sungai dengan alas an sudah kebiasaan, kebiasaan buruk yanh dilestarikan. Sementara pemerintah setempat tidak tegas dalam menegakkan aturan soal lingkungan.

Yang paling memprihatinkan, mereka yang jadi penyebab tidak mau peduli. Ini yang dinamakan sikap apatisme, tidak peduli dengan lingkungan, sementara aparatur Negara juga ikut tidak peduli dengan budaya membuang sampah disungai. Jika kemudian terjadi bencana banjir dan pemerintah dituntut untuk menyelesaikan bencana tersebut, ini yang namanya senjata makan tuan.

Sikap apatisme masyarakat, tak beda dengan sikap fanatisme kelompok, dan yang menderita adalah orang lain diluar kelompoknya. Seperti pecandu rokok dengan orang yang anti merokok, menerima dampak yang sama. Seperti dalam memilih pemimpin, baik daerah maupun nasional. Sikap apatisme, sikap pragmatis dan sikap fanatisme kelompok merupakan sikap yang tidak bertanggung jawab dan tidak terpuji untuk lingkungan dan berbangsa, bernegara. Kemudian saling menyalahkan dan bersikap oposisi, itu bukan ciri bangsa yang berdasarkan Pancasila.

Barangkali, jika mau mengakui secara jujur, itu semua merupakan dosa partai politik, yang sampai sekian tahun mereka tak pernah menyadarkan, mencerdaskan rakyat dari kekeliruannya. Justru rakyat ditambah bodoh dengan diberikan selembar uang untuk mau mencoblos jago mereka yang nota bene tidak bisa kerja, alias bocah dolan. Nah, ketika ada bencana tidak bisa menyelesaikan masalah, lebih senang meninjau bencana melihat kesedihan rakyat di dalam mobil mewah atau dibalik fasilitas umum namun cuma kedok bersembunyi (pencitraan).

Pelestarian lingkungan, penanaman pohon secara massal selama ini hendaknya bukan hanya sekedar pencitran kelompok atau golongan. Seperti halnya pembangunan irigasi, saluran air dan sungai serta jalan raya, tidak kemudian ditinggal begitu saja. Sikap untuk melestarikannya yang paling penting, yakni dengan selalu merawat setiap bulan, kalau pohon, menjaga dari penebangan liar. Jika sikap itu benar-benar dilaksanakan minimal akan mengurangi bencana. Kendaraan punya jalan raya, air juga punya gorong-gorong sampai sungai dan daerah resapan.

Bukan sikap apatisme, tidak mau tau dengan lingkungannya, baru ketika bencana datang saling menuding, saling tunjuk hidung, mestinya hidungnya sendiri. Inilah pentongnya pembangunan infrastruktur dan irigasi, keduanya tak boleh dipisahkan, karena sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan mahkluk yang ada dimuka bumi. Mulai dari kehidupan manusia, hingga binatang air. Sebenarnya tidaklah sulit untuk menjaga bersama hasil pembangunan yang sudah ada, termasuk merawatnya, dan di anggaran pemerintah jelas di cairkan tiap tahun dan tidap bulan.

Jika benar-benar Pancasilais sejati, saatnya untuk meninggalkan sikap apatisme, pragmatis danfanatisme kelompok atau golongan. Karena sikap seperti itu bukan budaya bangsa Indonesia, yang sejak sulu di kenal santun. Sekaligus menjadi bangsa yang cerdas, punya sikap, punya harga diri tidak mudah dibeli, apalagi hanya dengan uang Rp 10.000,-, seperti pilihan gubernur Jateng kemarin (ada berita di media lokal jateng_search google). Padahal, ketika rakyat ini mengusir penjajah sangat gagah, merdeka atau mati. Tapi setelah merdeka jangan kemudian mati.

[caption id="attachment_293864" align="aligncenter" width="669" caption="Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam rapat kerja nasional PDI Perjuangan, Jumat (6/9/2013). tribunnews.com"]

139156951153768527

[/caption] Semangat perjuangan untuk Indonesia lebih baik harus terus dihidupkan. Jangan mudah dipengaruhi oleh partai-partai yang tidak bertangung jawab terhadap kelangsungan hidup bangsanya, dengan mencalonkan pemimpin sembarangan. Itu merupakan kiat dalam mengatasi bencana. Mengurai pangkal permasalahan yang tanpa menimbulkan mnasalah baru. Mengatasi masalah banjir dengan memberikan saluran yang baik dan bebas sampah akan melancarkan arus air menuju ke laut, bukan masuk ke dalam rumah.

Mari kita sekarang memulai kehidupan yang baru dengan meninggalkan sikap apatisme, pragmatis dan fanatisme kelompok. Artinya bersama untuk kepentingan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Merdeka !!!

EDITOR : Wahyu Hamijaya




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline