Lihat ke Halaman Asli

Jogja, Sebuah Cinta Tulus

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yogyakarta, atau biasa di kenal dengan sebutan Jogja. Daerah Istimewa yang menyimpan begitu banyak sejarah perjalanan kehidupan bangsa ini. Kehidupan masyarakat yang santun dan berbudi luhur, tergambar jelas pada aura Keraton sebagai “tempat keramat” masyarakat Jogja. Kota seni dan budaya sudah menjadi gelar yang tidak bisa ditawar. Berbagai macam kesenian dan kebudayaan, telah membawa Daerah Istimewa ini mencapai “puncak ketenaran”. Cara memilih pemimpin yang berbeda dengan daerah lain coba dipertahankan, walau nyawa taruhannya. Sultan yang menyandang status sebagai seorang raja, juga berpangkat sebagai sosok seorang Gubernur. Benar-benar Istimewa.

Begitu banyak cara “anak manusia” mengartikan Yogyakarta. Gelar mulia sebagai “kota pelajar” menjadi amunisi tersendiri. Kualitas pendidikan dan kelimuan yang maju, membuat semua kalangan tertarik untuk “mencicipi”, walau sekedar belajar menulis. Sebagian “anak rantau” mengartikan Jogja sebagai peta Indonesia dalam skala kecil. Dari ujung Utara sampai Timur Indonesia, menyambung ke Barat dan Selatan, semua hadir disini. Menyatu bak masyarakat asli, berjuang untuk “mencuri” sedikit ilmu yang bisa dibawa pulang.

Satu hal yang menjadi nyata di Jogja, “unik”. Apa yang belum pernah ditemukan di “kampung halaman”, semua akan ada disini. Apa yang belum pernah ada, akan ditemui ketika hadir di daerah Istimewa ini. Seakan menambah referensi pengetahuan tentang isi dunia, menggambarkan suasana alam semesta lewat pesan-pesan khasnya. Berbagai macam status sosial, karakteristik diri, cara bergaul, dan pola fikir, menghadirkan warna tersendiri. Memiliki alasan-alasan tersendiri dalam menyikapi sesuatu, adalah hal wajar. Keanekaragaman itu, akan membawa perbedaan-perbedaan mendasar untuk mengungkapkan sesuatu, termasuk “Cinta”.

Datang dari pesisir laut Kalimantan Timur, membuat hidup ini seakan penuh dengan hamparan pasir putih nan indah. Perbedaan geografis daerah, mengisyaratkan satu kesimpulan tersendiri tentang Jogja. Sosok seorang pria sederhana, mencoba melihat dunia dengan rantau. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah tempat berpijaknya saat ini. Satu hal yang mengherankan adalah “Cara” Jogja mengartikan Cinta. Begitu banyak cara manusia dunia ini dalam merumuskan alasan dalam upaya mendapatkan rasa hati itu.

Alasan klasik anak bangsa, cara berfikir dalam menentukan hati, pertimbangan-pertimbangan di dalam menentukan cinta, sikap “lugu” yang senantiasa menemani perjalanan kehidupan. Satu hal yang tak asing , tidak banyak wanita yang rela memilih pasangan “sederhana”. Tidak jarang wanita yang menggunakan “standard” kekayaan. Seakan pria “miskin” dengan paras “sederhana”nya tidak diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk dicintai. Karena proses ini selalu di awali oleh kedatangan sosok si pria, maka sungguh jarang ditemukan seorang pria “mapan” berparas “dewa” memilih wanita yang jauh “dibawahnya”. Keadilan mencintai dan dicintai akan dengan sendirinya memilih sosok “sempurna”.

Pola kehidupan dan pergaulan modern lebih menjerumuskan wanita di dalam menciptakan “standar” itu pada perjalanan cintanya. Tolak ukur yang sama antara wanita satu dan lainnya menjadikan sebuah persepsi bahwa wanita akan menentukan standar-standar itu lebih dari apa yang dimilikinya. Akan selalu menggunakan standar tertinggi, walau hal tersebut sulit untuk di capai. Tidak semua wanita memang, tetapi tidak sedikit yang seperti ini. Kehidupan yang semakin mendewasakan cara berfikir membuat “virus” ini mudah tersebar.

Perjalanan pertama menyusuri jogja, berpakaian sederhana, karena memang tidak tahu cara “berpkaian” apik, bermodalkan sandal jepit kusam. Mencoba mengenal daerah ini dengan kemewahannya, gemerlapnya malam minggu yang ceria. Menuju sebuah gedung besar, ramai, mewah. Menemukan begitu banyak pasang mata yang “berpasang-pasangan”. Seketika itu menilai, jogja tak adil untuk cinta. Keanehan-keanehan yang menggugan fikir itu menemani sepanjang kaki bergerak. Apa ini hanya “drama” kehidupan yang kebetulan muncul ? apa ini yang disebut adil dalam konsep Tuhan ? pertanyaan-pertanyaan ini mengiringi perjalanan malam.

Jogja sungguh berbeda menilai cinta. Di berbagai tempat dan suasana, keanehan itu tetap menunjukkan eksistensinya sebagai warna daerah Istimewa ini. Ketulusan cinta tergambar jelas pada ukiran tawa pasangan-pasangan itu. Keadaan yang tak pernah kutemui sebelumnya, sekarang menjadi “tontonan” yang tak asing lagi. Wanita anggun bak “ratu” menggandeng sesosok pria “kusam”, tak bergaya bak “raja”, tak berkuda bak “pangeran”. Seakan menunjukkan kesederhanaan yang memang sederhana dari balik kehidupan sang pria. Yang seharusnya wanita itu tidak menggandengnya. Apakah alasan wanita untuk mencintai dan berbaik hati pada pria-pria sederhana berbeda di setiap zaman ?

Sungguh berbeda dengan alasan-alasan modern yang mengklasik untuk mencintai. Wanita anggun, akan memilih pria tampan. Wanita kaya, akan memilih sosok pria pengusaha. Jogja tidak memperlakukan itu sebagai alasan untuk mencintai. Kehangatan senyum indah di paras keduanya. Ketulusan cinta seolah di dapat. Ketika standar-standar itu sudah tidak lagi menghalangi proses mendapatkan cinta, hati akan bergerak sesuai kodratnya sebagai perasa, dan fikir tidak lagi menghalangi untuk memilih apa yang diingin. Jogja mengajarkan ketulusan mencintai dengan apa adanya. Apa yang dimiliki, tidak menjadi tolak ukur untuk memilih. Berbahagialah,,,,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline