Lihat ke Halaman Asli

Ekonomi Politik ataukah "Politik Ekonomi"

Diperbarui: 4 April 2017   17:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ekonomi dan politik adalah dua sistem yang tidak dapat disamakan. Keduanya berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan pengertian dan fungsi, dan tujuannya masing-masing. Namun, di dalam perkembangan terbukti bahwa sistem perekonomian dan perpolitikan saling menunjang satu dengan yang lain. Oleh karena itu, gagasan untuk menjadikan ekonomi politik sebagai sebuah sistem keilmuan banyak bermunculan.

Pada dasarnya, ekonomi politik dijadikan Negara sebagai alat dalam mengatur perekonomian masyarakat. Karena pada masa itu pasar dianggap belum mampu berkembang, sehingga pemerintah dirasa perlu untuk “campur tangan” didalam perekonomian masyarakat. Seiring berjalannya waktu, pandangan ini ditentang karena dianggap pemerintah (Negara) bukan lagi sebagai agen yang baik untuk mengatur kegiatan ekonomi, tetapi lebih kepada badan yang bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat.

Di Indonesia sendiri, begitu banyak definisi kesimpulan dari realita bangsa yang dapat dijadikan referensi dalam merumuskan peran ekonomi dan politik itu sendiri. Ekonomi adalah system yang merangkul sistem-sistem lainnya. Buktinya adalah ketika terjadi “tragedy” di salah satu sistem Negara saja, maka sistem perekonomian akan ikut menjadi korban. Baik permasalahan yang muncul dari bidang pendidikan, pertahanan Negara, konflik, bencana alam, sampai pada masalah politik suatu Negara akan berpengaruh pada system perekonomian Negara tersebut. Sedangkan politik menurut “Indonesia” adalah segala sesuatu dan apapun tiu, dapat dikelola dan dibesarkan dengan politik. Politik dapat masuk ke berbagai hal dan sistem, seperti pendidikan, olahraga, kesehatan, perdagangan, dan lain sebagainya. Tidak ada celah yang menutup ruang untuk mencegah masuknya politik pada sebuah system di Indonesia.

Negara kita memang tidak menganut sistem ekonomi politik, tetapi pemerintah (Negara) sebagai penganut “oknum” yang berpolitikmemiliki skala besar dalam menentukan kebijakan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Indonesia adalah Negara kompleks di dalam system perpolitikannya. Begitu banyak pemahaman yang muncul terkait politik membuat “warna” tersendiri bagi bangsa ini. Berdasarkan data yang dimuat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada pemilu tahun 2009 saja ada sebanyak 44 partai politik yang mengikutsertakan dirinya dalam pemilihan. Ini membuktikan bahwa betapa “kayanya” Indonesia untuk persoalan politik.

Secara teoritis bisa kita simpulkan bahwa Negara yang multidimensi politiknya seperti ini akan berimbas pada tingkat perkembangan perekonomiannya, seperti halnya “ekonomi politik”. Indonesia adalah Negara yang “unik” dengan berbagai macam permasalahan sehingga peran sebagai Negara yang bertanggungjawab atas kesejahteraan masyarakat sedikit terabaikan.

Berdasarkan informasi yang didapat dari situs resmi dunia menyatakan bahwa, Indonesia adalah Negara “terkaya” kedua di dunia setelah Brazil untuk urusan sumber daya alam. Peringkat ke 21 dari total 210 negara dalam kontribusi minyak dunia. Tidak ada alasan kiranya untuk memungkiri bahwa Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Tetapi pada realita keadaan dan situasi bangsa Indonesia saat ini, sungguh “jauh panggang dari api”. Kekayaan alam yang luar biasa itu tidak menimbulkan efek berarti bagi kesejahteraan masyarakatnya. Begitu banyak masyarakat kaya dengan pendapatan-pendapatan yang diperoleh, tidak sedikit pula masyarakat yang “mati kelaparan” di lumbung padi Negara ini.

Begitu banyak pertanyaan muncul sejak dahulu, mengapa terjadi hal-hal seperti ini ? jawaban yang paling melekat ditelinga masyarakat adalah “sumber daya manusia (SDM) Indonesia belum mampu mengolah secara keseluruhan sumber daya alam yang ada”. Kembali mengacu pada data dunia, yang menyatakan bahwa Indonesia masuk ke dalam 9 besar Negara yang memiliki mahasiswa terbanyak mengalahkan Amerika dan Jepang.

Dengan data itu setidaknya dapat menepis anggapan bahwa Indonesia belum memiliki SDM yang mumpuni dalam mengelola SDA yang ada. Berbeda dengan Negara tetangga Singapura, mendapat peringkat Negara terkaya ke 4 di dunia yang secara luas geografis tidak lebih besar dari pulau Jawa dan tidak memiliki SDA yang berarti. Masalah-masalah ini akan menjadi pertanyaan menurun di masa depan.

Negara memang tidak mengatur perekonomian secara keseluruhan sesuai dengan pemahaman ekonomi politik, tetapi bangsa ini adalah “sosok” yang mengatur kebijakan-kebijakan dalam upaya mensejahterakan masyarakat. Hal ini juga menjadi pertanyaan besar terkait kebijakan (oknum) pemerintah. Begitu banyak kebijakan yang secara fakta dapat dikatakan merugikan masyarakat Indonesia. Seperti kebijakan impor yang tidak tepat. Kasus impor kentang yang sempat meresahkan petani lokal beberapa waktu silam membuat kita heran atas “tingkah” pemerintah di dalam merumuskan kebijakan. Seakan tidak meyakini bahwa produk local lebih baik dan layak digunakan dari pada produk impor. Sedangkan kualitas produklokal sudah membuktikan itu. Slogan yang selama ini didengungkan untuk “cintai produk dalam negeri” seolah hanya sekedar “bisikan setan” belaka.

Pemberitaan yang belum lama muncul adalah persoalan mobnas (mobil nasional). Begitu banyak alasan dan perdebatan yang menyeruak untuk menolak produk anak bangsa menjadi produk unggulan di “rumah sendiri”. Berbeda dengan Negara tetangga Malaysia, bangga dengan Proton yang dimilikinya. Dengan berbagai alasan mengemukakan pendapat untuk menolak mobil nasional. Padahal dengan munculnya gagasan untuk membuat produk mobil sendiri ini dapat dijadikan sebagai “batu loncatan” bangsa Indonesia untuk berkiprah di kancah otomotif dunia, guna memperbaiki “gelar” bangsa dimata Negara-negara lain yang selama ini belum dapat dikatakan baik.

Dengan permasalahan-permasalahan tersebut, akan menjadi sebuah pertanyaan besar sebenarnya, apakah masalah perekonomian yang kita alami selama ini terjadi karena memang Indonesia “miskin” ataukah politik Indonesia itu sendiri yang menjadikan Negara ini miskin. Kepentingan pribadi dan golongan “oknum” pemerintah, yang menjadikan politik sebagai solusi perekonomian yang berimbas buruk pada masyarakat bangsa ini. Dengan demikian, sistem perpolitikan Indonesia yang multidimensi ini tidak mendukung berkembangnya perekonomian secara umum, dan salah satu faktor yang menghambat berkembangnya ekonomi masyarakat Indonesia adalah sistem perekonomian yang diselimuti oleh sistem politik para “pejabat” bangsa dan hanya berdampak pada pihak-pihak yang berpolitik saja, tidak menjadi “hadiah manis” bagi masyarakat sebagai tuntutan kesejahteraan mereka.

Oleh karena itu, kesimpulan rancu dari Negara Indonesia adalah mekanisme politik yang begitu kompleks tidak serta merta berdampak baik bagi perkembangan ekonomi negara ini. Bahkan mungkin sebaliknya, pihak-pihakyang membantu dan berkontribusi dalam mengembangkan perekonomian bangsa Indonesia akan ikut serta membantu para (oknum) di dalam “perjuangan” politiknya. Tidak lagi politik yang berkontribusi pada ekonomi, tetapi ekonomi yang memiliki kontribusi nyata di dalam perpolitikan bangsa Indonesia saat ini yang dijasikan sebagai basis pertahanan Pemerintah terhadap kebijakan-kebijakan politik “konyol” mereka terhadap kehidupan ekonomi bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline