Dalam menghadapi tantangan demokrasi di Indonesia, tulisan ini saya tulis guna mengangkat permasalahan perilaku memilih masyarakat yang masih cenderung tradisional, khususnya dalam konteks pemilu. Tulisan saya ini nantinya hendak membahas perbedaan antara pemilih tradisional dan pemilih kritis, serta implikasi dari praktik-praktik tidak etis seperti vote buying yang terus menghantui proses demokrasi. Dengan merinci tingkatan pemilih dan menyoroti dampak budaya vote buying, artikel ini menjelaskan perlunya pendekatan mendalam dan holistik untuk membangun kesadaran publik.
Selain itu, nantinya juga akan membahas faktor-faktor seperti partisipasi pemilih, pendidikan politik, pengaruh media sosial, dan reformasi sistem pemilu sebagai bagian integral dalam transformasi perilaku pemilih menuju pemilihan yang lebih rasional dan berkualitas. Penulis disini memiliki tujuan guna mendorong refleksi kritis terhadap demokrasi Indonesia serta memberikan inspirasi untuk perubahan menuju proses pemilu yang lebih bersih dan representatif.
Perilaku memilih masyarakat Indonesia masih banyak yang bersifat tradisional, lebih dominan dibandingkan dengan pemilih yang bersikap kritis, seperti yang dijelaskan oleh Firmanzah tentang empat tingkatan pemilih. Pertama, pemilih rasional, yang memiliki orientasi tinggi dan rendah terhadap faktor ideologi. Kedua, tipologi pemilih kritis, yang merupakan perpaduan antara orientasi tinggi dan unsur-unsur ideologis. Ketiga, tipologi pemilih tradisional, yang memiliki orientasi tinggi pada sisi ideologi dan kurang memperhatikan kebijakan dari partai politik atau calon itu sendiri. Keempat, tipologi pemilih skeptis, yang tidak memiliki orientasi apapun.
Pemilihan umum dianggap sebagai pilar demokrasi di mana warga negara memiliki kesempatan untuk menentukan pemimpin mereka. Namun, praktik-praktik yang terjadi saat ini di Indonesia sangat tidak etis, seperti vote buying atau suap pemilih, yang terus menghantui proses demokrasi. Dalam upaya menolak vote buying, diperlukan pendekatan yang mendalam dan holistik untuk membangun kesadaran publik. Budaya pemilih di Indonesia, terutama di kalangan pemilih pemula dan usia 60 hingga 70 tahun, masih sering didasarkan pada orientasi memilih karena imbalan finansial.
Demokrasi di Indonesia dicederai! Meskipun pemilu seharusnya menjadi sarana untuk menjalankan demokrasi dengan baik, kenyataannya malah sebaliknya. Praktek pemilu masih sering kali menunjukkan bahwa para calon dan paslon menghalalkan segala cara untuk maju sebagai legislator atau eksekutif. Budaya vote buying masih sangat marak, dengan penggunaan uang untuk meraih suara sebanyak mungkin. Hal ini dirasa sangat dibutuhkan oleh mereka yang ekonominya rendah dan tidak memiliki pendidikan politik yang memadai. Untuk menjadikan demokrasi efektif, perlu dilakukan perubahan agar calon dan paslon bersaing berdasarkan gagasan, visi, dan misi, bukan berdasarkan keuangan!
Pemilu saat ini lebih terasa sebagai panggung bagi mereka yang memiliki kekayaan, bukan sebagai ajang untuk memilih wakil rakyat, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Hal ini merupakan kemunduran dalam praktik demokrasi, di mana orientasi calon dan paslon lebih terfokus pada bagaimana mendapatkan kekuasaan, tanpa mempertimbangkan ideologi atau visi misi yang jelas. Oleh karena itu, kita perlu menolak budaya vote buying dengan mengorientasikan pilihan kepada calon yang memiliki visi misi dan program kerja yang jelas. Suara masyarakat tidak boleh dihargai dengan uang sekecil apapun, karena itu merupakan penghinaan bagi masyarakat!
Upaya membangun kesadaran kritis juga penting. Paulo Freire, bapak Pendidikan Brazil, menyatakan bahwa kesadaran adalah bentuk pembebasan. Oleh karena itu, masyarakat harus memiliki kesadaran kritis agar praktik demokrasi berjalan dengan baik.
Masyarakat harus berusaha keras untuk menolak uupaya upaya vote buying, karena suara mereka sangat penting untuk jalannya demokrasi di negara ini. Apa yang akan terjadi jika seluruh suara masyarakat digadaikan dengan uang? Indonesia akan mengalami kemunduran yang sangat kompleks dalam hal demokrasi, yang mana mereka seharusnya mewakili rakyat akan tetapi prakteknya malah menginjak-injak rakyat. Masyarakat harus menyuarakan keadilan, dan memilih wakilnya berdasarkan nilai-nilai dan integritas, bukan hanya seberapa besar uang yang diterima.
Pada pemilu 2024, mari bersama-sama menggalakkan pemikiran bahwa kualitas pemerintahan berasal dari penyelenggaraan pemilu yang berkualitas. Jika pemilu masih sarat dengan vote buying atau budaya patronase, apa yang bisa diharapkan dari pemerintahan yang terbentuk? Peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk menolak budaya vote buying yang sudah marak saat ini. Hal tersebut merupakan cacat dalam demokrasi, dan kita tidak boleh membiarkannya terus berlanjut agar kita memiliki wakil yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat, bukan hanya elite.
Harapan masyarakat adalah lahirnya proses penyelenggaraan pemilu yang jujur, tanpa melibatkan budaya buruk seperti vote buying. Vote buying tidak dapat direlevansikan dengan suara kita untuk demokrasi selama lima tahun ke depan. Kita membutuhkan pemimpin atau wakil yang memprioritaskan kemaslahatan umat, bukan hanya kepentingan elite. Kita tidak boleh lupa bahwa telah menjadi hak kita, bukan hak mereka, dan harus dijaga dengan baik agar tidak terkorupsi.
Input sumber gambarDalam menghadapi tantangan demokrasi di Indonesia, perluasan kesadaran publik terhadap praktik-praktik tidak etis seperti vote buying menjadi kunci untuk menciptakan perubahan yang lebih baik. Melalui pemahaman yang mendalam tentang perbedaan antara pemilih tradisional dan pemilih kritis, serta dampak budaya vote buying, masyarakat dapat bersama-sama membangun fondasi demokrasi yang lebih kuat.
Pentingnya pendekatan mendalam dan holistik terungkap dalam upaya menolak budaya vote buying. Reformasi sistem pemilu, peningkatan partisipasi pemilih, pendidikan politik yang efektif, dan kesadaran kritis masyarakat menjadi elemen-elemen kunci dalam transformasi perilaku pemilih. Artikel ini mencoba menyuarakan kebutuhan untuk menempatkan demokrasi sebagai panggung bagi ide, visi, misi, bukan sebagai arena untuk mengukur kekayaan.
Pada Pemilu 2024, kita dihadapkan pada kesempatan untuk menciptakan perubahan positif. Kualitas pemerintahan yang muncul dari pemilu yang bersih dan berkualitas akan menciptakan representasi yang lebih baik untuk seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, peran aktif masyarakat dalam menolak budaya vote buying dan budaya patronase sangatlah vital.
Demokrasi Indonesia membutuhkan suara yang jelas, bukan yang digadaikan dengan imbalan finansial. Masyarakat perlu menyuarakan keadilan, memilih pemimpin berdasarkan nilai-nilai dan integritas, serta menolak terus berlanjutnya praktik-praktik yang merugikan demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H