Lihat ke Halaman Asli

Surat Terbuka Kepada Pemangku Bumi Wali Tuban

Diperbarui: 10 Desember 2016   12:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Assalamulaikum Bung Yai Bupati dan Legislatif yang minta dihormati

Pertama, halo Yai Huda dan dewan rakyat yang budiman. Panjenengan berdua sehat kan?. Semoga selalu sehat walafiat, selalu diberi kesehatan.

Oh iya, saya anak asli Tuban. Lahir dan besar di Tuban, ya akhir-akhir ini saja sering keluar kota, mulai dari Surabaya dan sekitarnya. Pak Huda yang dirahmati Allah, saya ingin sedikit menggelitik Pak yai. Maafkan jika ini menyakitkan, namun saya tidak punya niatan begitu. Semua mengalir, sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman saya sebagai warga Tuban.

Bro Jokowi kemarin ke Tuban, menanam pohon biar adem. Menyatakan akan membatasi izin tambang terutama Semen. Hal tersebut konsisten dengan pernyataan beliau terkait Kajian Lingkungan Hidup Strategis, seperti yang dijanjikan beliau pada warga Kendeng tempo hari. Pak Bos Yai Huda mestinya paham, kan pernah ada ketemuan kan ya. Mbok ya jangan diam aja, ngelakuian apa kek. Atau jangan-jangan syndrome Ganjar sudah mewabah, atau mungkin mental kepala daerah demokratis begitu semua. Maaf-maaf ini bukan hate speech loh.

Tuban, sebagaimana diketahui merupakan daerah dengan mayoritas pegunungan kapur atau karst. Dari sepanjang wilayah Montong, Merakurak, Kerek dan Tambakboyo merupakan daerah sebaran bukit karst itu sendiri. Raksasa BUMN Semen Indonesia juga telah berdiri megah, hingga Aseng Holcim menjadi teman baru yang cukup akur. Katanya dengar dari angin yang berhembus, Montong dan sekitarnya mau dieksplorasi ya?. Waduh Bos kok gitu bos, bahaya loh itu.

Kita lihat secara seksama, pendirian Holcim dan perluasan tambang SI telah menciptakan dampak yang cukup serius. Logika tambang ramah lingkungan seharusnya melihat kondisi alam sekitar, serta sosial masyarakat. Industri ekstraktif menggunakan air dan juga tanah, mereduksi fungsi hingga mengurangi kualitas serta kuantitas. Apalagi lucunya dua pabrik ini bersebelahan, seakan tidak punya dosa. Sekarang mulai terasa "bajinguknya" secar sosial, ekonomi ya gitu-gitu aja. Ngomong kesejahteraan, tapi mbelgedes. Kesejahteraan paling simple kesehatan dan pendidikan gratis, eh ndilalah itu omong kosong. Gratis tapi ngurusnya, ah sudahlah.

Yai Huda yang budiman, masih ingat soal tukar guling lahan hutan. Itu saja menimbulkan polemik, apalagi ini pasti akan timbul permasalah. Hari ini saja banyak warga yang tidak mampu keserap kok, kalau ada ya short term contract (jangka pendek, biasanya sistem outsourcing). Lalu para petani dan nelayan, semakin berkurang. La dikasih harapan semu eh, tanah dibeli dan dijanjikan kerja. Wadalah itu cuma janji lambe lamis, kok mau-maunya di PHP. Wong kerja itu ada kualifikasinya kok, dengan gampangnya bilang gitu.

Permasalahan sosial yang lainya adalah perkara kondisi psikologis warga, entah mengapa karena efeknya dahsyat. Mulai terjadi transisi budaya, perpecahan secara horisontal. Istilahnya kota tidak kota, desa ya tidak desa. Depresi serta traumatik politik praktis juga menjadi penyebab, hingga pola-pola demokratis terhambat dan terancam. Mosok kalah sama warga penolak tegal dowo Rembang, eh beda topik ya maafkan.

Selanjutnya, saya pernah kepo-kepo jika karst itu penting terutama hutan juga. Seperti Montong dan Kerek itu daerah hulu, kalau diambil dan ditambang mau jadi apa?. Air akan menyusut, banjir akan menyusul. Jangan bilang semua takdir Tuhan dan untuk rakyat. Nyatanya rakyat juga gak nikmatin, CSR ahahahah itu kan cuma candu sesaat. Jadi ya mbok rakyatnya jangan dikibulin melulu, malati (karma) nanti. Agama lo mengajarkan keseimbangan alam dan manusia, saya yakin ilmu anda tak perlu diragukan lagi. Semua tidak hanya dilihat dari segi keuntungan namun juga hal-hal lain. Kesejateraan tak melulu uang yai.

Pola perubahan masyarakat tani ke industri memang menjadi semacam agenda tersendiri. Mendukung iklim investasi, jelas menyisir persoalan lingkungan dan pola produksi lama. Sekarang masyarakat tani dan nelayan selalu dikatakan tak modern, miskin dan gak mboys. Tapi persoalan perburuhan hari ini juga kompleks. Mulai dari penindasan terselubung, dari sistem kontrak hingga gaji. Istilahnya hak-hak pekerja di Tuban sendiri masih jauh dari harapan. Serikat buruh saja cuma satu, invertil lagi.

Tuban ditetapkan sebagai kawasan lindung nasional sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRN). Jelas-jelas dilindungi kenapa kok masih disasar, dengan manipulasi-manipulasi kajian. Woh itu mahasiswa dan peneliti-peneliti enggak punya hati, kok ya mau-maunya. Kontraproduktif dengan rencana perluasan tambang hingga pendirian industri baru. Kok ya dengan gampangnya bikin izin dan Amdal. Masyarakat tak diikutkan juga, publikasi enggak ada. Cuma centeng-centeng asem saja yang diikutkan. Parahnya di Rengel industri rakyat berskala menengah juga mengkhawatirkan, kok ya segitunya. Enggak semen, enggak gamping sama saja. Serakah. Jenengan enggak serakah toh?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline