BAK TARIAN BIDADARI
Oleh Wahyudi Nugroho
Menjelang tengah malam rombongan kecil yang pulang dari pesanggrahan Pangeran Erlangga itu tiba di Kademangan Maja Dhuwur. Mereka langsung memisahkan diri. Handaka dan Sekar Sari pulang ke rumah ki demang, lainnya langsung pergi ke Maja Legi.
Biksuni Kalyana Padmi kini menunggang kuda sendirian. Sekar Sari meminjamkan kuda itu kepada biksuni. Ia pulang ke rumah ki demang berdua di atas kuda dengan Handaka.
Ternyata wanita gundul itu trampil juga mengendalikan kuda. Ia berpacu di belakang Sekar Arum yang berkuda beriringan dengan senopati Naga Wulung. Jauh di depan Ki Ageng Gajah Alit terus memacu kudanya tanpa menoleh, barangkali iapun ingin segera bertemu dengan Nyai Ageng yang kini tinggal di Majalegi bersama Mbok Darmi.
Karena baru saja menempuh perjalanan jauh, mereka kecapean. Setelah makan hidangan sederhana, ubi dan ketela rebus, segera mereka masuk kamar yang telah disediakan. Tidak selang lama hampir semuanya tertidur.
Hanya Biksuni Kalyana Padmi yang tetap di ruang tamu. Ia memilih duduk bersila di atas amben besar yang terbuat dari bambu. Tempat para tamu biasa duduk sambil berbincang. Seperti patung batu ia diam bermeditasi.
Ketika hari telah mendekati pagi, di antara suara kokok ayam yang bersautan dan kicau burung dari atas pepohonan, terdengar suara alunan seruling yang indah, terbawa oleh angin lembut yang masih dingin menyentuh kulit. Suara itu seolah memiliki daya hipnotis untuk terus didengarkan.
Mula-mula suara itu mengalir dalam nada yang datar, meliuk-liuk mendayu-dayu, bahkan seolah merintih-rintih. Namun kemudian tiba-tiba ia melonjak tinggi, menggelora penuh semangat juang, kemudian kembali datar dalam irama ceria, penuh suka cita.
Dewi Kilisuci segera bangun dari tidurnya. sejenak ia menutup mulutnya saat menguap. Telinganya menangkap getaran suara yang menarik hatinya. Ia tak tahu dari mana sumber suara yang indah itu, seolah-olah ia berpindah-pindah, kadang terdengar dekat kadang jauh.