Terdengar dengung suara panah sendaren membelah langit kademangan Majaduwur dua kali berturut turut. Itu pertanda bahwa pasukan musuh sudah bergerak hendak menghancurkan kademangan itu. Isyarat itu dikirim dari para telik sandi yang bertugas mengamati pergerakan pasukan lawan.
Sebentar kemudian seekor kuda melesat lari menuju induk kademangan. Di atas punggung kuda itu seorang lelaki membungkukkan badannya, hingga menempel punggung binatang itu. Kaki dan tangannya yang bercambuk memukul mukul perut dan paha kuda, agar binatang itu meningkatkan larinya lebih kencang lagi.
"Hayo kenapa kau jadi malas, lambat sekali. Hiya hiya hiya"
Lelaki di punggung kuda itu adalah penghubung yang bertugas menyampaikan berita dari para telik sandi yang mengamati pasukan lawan dengan para pimpinan di induk kademangan. Ia rupanya tidak telaten dengan kecepatan lari kudanya, seolah olah kuda yang telah melesat cepat itu masih lamban larinya.
"Hiya hiya hiya"
Penghubung itu terus berusaha mempercepat lari kudanya, binatang itupun berlari demikian pesatnya. Seolah seperti bayangan tak kasat mata membelah gelapnya malam.
"Hiya hiya hiyaaa"
Suara kaki kuda itu berdentang dentang memecah sepinya malam. Setiap melewati gardu perondan ia selalu berpesan sambil tetap melarikan kudanya seperti angin.
"Bersiaplah musuh sebentar lagi datang"
"Kami sudah siap" demikian jawaban setiap pengawal di semua gardu perondan.